https://www.elaeis.co

Berita / Siku Kata /

Nir-Plastik: Ya, Kehidupan

Nir-Plastik: Ya, Kehidupan

tentengan belanjaan yang diwadahi kantong plastik. foto: suarasurabaya.net


Mungkinkah? Kita menggaulinya sejak pagi hingga malam. Dia menjadi teman hidup sejak kanak￾-kanak hingga tua renta. Dia wadahi air dalam kemasan, media minuman jus instan. Jua pembungkus obat-obatan. 

Dia juga memanjakan ibu-ibu ke pasar; tak perlu susah payah menyimpan dan membawa tas khusus. Juga media para peritel kecil hingga pemilik waralaba untuk promosi dan identitas produk. Dia dijadikan kemasan pembungkus cemilan dan mainan yang dijual di sekolah hingga supermarket. 

Menjadi aneh, pikiran manusia hari ini hanya memaknai plastik sebagai sampah (waste), yang hanya tertumpu pada tas atau kantong keresek. Dari sini kisah tentang kehadiran plastik sebagai pembantu kehidupan hingga menjadi sampah kehidupan, dimulai. 

Ikhtiar reduksi efek plastik dalam kehidupan, sebuah keniscayaan. Timbunan plastik hari ini telah menjadi ancaman bagi keberlangsungan peradaban: Sumber prima, air. 

Kini badan-badan air telah penuh sesak ditimbuni gerombolan plastik yang bisa membentuk koloni daratan baru, bahkan benua plastik. 

Baca juga: Kompor Induksi; Ilusi Niscaya?

Segala hidupan atau biota air terancam punah. Biota itu sendiri ialah sumber gizi dan gantungan hidup bagi keperluan tubuh jasadi kita. 

Kepunahan berjenis biota yang disebabkan oleh plastik, ancaman bagi kehidupan manusia. Para aktivis lingkungan menghentak kesadaran kita mengenai bahaya plastik di tengah kehidupan. Kini sampah plastik sudah menjadi “terror” bisu.

Semula dia bukanlah sampah. Dia dihajatkan untuk memudahkan manusia dalam segala hal. Termasuk dalam urusan kesehatan (misalnya; pembungus obat dan operasi). 

 

Ketika dia menumpuk dan memerlukan waktu hingga lebih dari 100 tahun untuk terurai, dia menjadi masalah. Dia tak sekedar sampah, tapi sekaligus ancaman dan petaka peradaban. Itulah plastik. 

Lama kelamaan menumpuk dan menggunung. Ada yang sengaja dibuang di batang air, badan air dan lautan. Sampah plastik menggantung di tebing-tebing sungai, pantai, laut bahkan samudera. 

Dia tersangkut di akar kayu sepanjang tebing dan bahkan hinggap di pepucuk dedaunan di puncak gunung. Dia menghentikan aliran air di lembah-lembah, ikut mematikan biota air dan biota dalam tanah. 

Dia menyesakkan nafas manusia kala dibakar. Maka, di sini plastik menjelma jadi petaka dan bencana. Hari ini, gaya hidup dan cara pandang terhadap plastik harus diubah sejak dini. Kalau tidak, kita akan mengalami kiamat plastik. Satu bahan yang amat sulit terurai di muka bumi. Bahkan plastik bisa menenggelamkan sebuah kota beradab.

Indonesia adalah penyumbang sampah plastik yang dihanyutkan ke laut terbesar kedua setelah Cina. Ranking prestasi kah ini? Waw... ini rangking kemunduran peradaban. 

Belum lagi tumpukan plastik yang menggunung di kawasan area pembuangan akhir di kota-kota besar Indonesia. Alhasil, manusia dan plastik seakan-akan memang berpembawaan sampah. 

Plastik itu sendiri sudah jelas sampah. Pun, manusia yang memproduksi plastik dengan alasan apapun sejatinya adalah makhluk sampah dan penyampah. 

Bumi yang begitu elok dan purna dihibah kepada kita, tapi kita pula yang memecatkannya dalam gaya masa bodoh. Berbanding dengan hewan? Hewan menghasilkan sampah sebagai sisa dari makanan dan mudah terurai secara alami.

Sebaliknya manusia memproduksi sampah, bersumber dari sisa makanan, sisa gaya hidup, sisa bangunan, sisa perbuatan peradaban dalam segala bentuk dan skala.Semua ini disemangati oleh instink ekonomi ekstraktif. 

 

Gaya hidup yang menonjolkan peran plastik dalam kehidupan sehari-hari perlu dikurangi, jika tak mampu mengakhirinya secara total. 

Wajah lingkungan hidup menjadi calar dan berkesan suram sepanjang produk plastik masih saja menghias kemajuan yang didefenisikan sebagai modernisasi oleh mesin-mesin mekanis skala massif. 

Pabrik plastik atau plastik itu sendiri tidak perlu dimusnahkan, karena dia bersisian dengan keperluan manusia modern. Tapi, pemakaian dan pendaur-ulangannya yang harus dilakukan secara mangkus, sehingga dia tidak menjadi ancaman bagi peradaban.

Gerakan anti kantong plastik, sejatinya telah dilakukan oleh komunitas, aktivis lingkungan dan para pecinta lingkungan dalam ragam bentuk kelembagaan, baik profesional maupun lembaga swadaya masyarakat. 

Per individu, terutama mereka yang lebih terdidik dan banyak berinteraksi dengan kenyataan lingkungan; termasuk pula kaum para penyayang hewan, lebih jauh dan lebih dulu melakukan gerakan anti segala ihwal yang berbau plastik ini. 

Bagi kelompok sejenis ini, gerakan ini telah menadi dan menjadi gerakan sekaligus gaya hidup. Warga perkotaan yang sadar akan petaka sampah plastik, telah menyuarakan lewat media elektronik, media cetak. 
Gerakan ini lebih massif atas panggung jejaring media sosial; menyapa setiap orang yang mengakses media online (sosial) itu: Kembali ke kehidupan natura!

Respon kaum hippies mengharamkan pakaian dari bahan-bahan yang bersumber dari kulit dan bulu hewan. Super ekstrim lagi, muncul komunitas naturalis; gaya hidup bugil (telanjang), yang dinaungi fasilitas akomodasi dan ruang sosial sebagaimana ditemukan di Barat. 

Kaum naturalis ini bertolak dari anggapan bahwa untuk menyayangi lingkungan dan bumi, salah satu “jalan pedang” adalah menghindari busana yang terbuat dari bahan-bahan alam. 

 

Dari sini muncul hotel dan resort yang menampung gaya hidup bugil, pantai, kawasan hutan dan pegunungan yang menerima kaum bugil lelaki dan perempuan, bugil untuk anggota keluarga. 

Di sini, bugil menjadi gaya hidup. Mereka menjalani hidup bak primata, berjalan dan bermain-main di pantai dalam rombongan bugil ria. 

Sayang lingkungan juga kah? Mereka menjadi penyayang lingkungan dalam cara lepaskan yang melekat di badan. Duhai wahaaii... Entahlah... 

Kembali ke kehidupan nir-plastik dalam langgam SDGs atau MDGs, agaknya tak berlebihan, jika hiruk pikuk digempitakan lagi menjadi demam demonstratif kepada kanak-kanak. 

Sosialisasi gerakan anti plastik ini bisa melalui lembaga OSIS dan pramuka lingkungan. Awali dengan cara menghimpun anak-anak para pedagang dan penjual komoditi di pasar basah: penanaman nilai tentang anti plastik. 

Jalaran nilai dan pesan yang hendak disampaikan oleh pemerintah atau sejumlah LSM pro green, akan lebih efektif. 

Sebab, yang digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan itu adalah anak-anak mereka sendiri (anak para pedagang atau malah cucu; generasi bunga). 

Kemudian para anak dan cucu inilah yang menyapa  (menegur) para kakek dan nenek yang berprofesi pedagang itu tentang nilai dan apa itu sampah dan penyampahan. Pun, menggelorakan semangat kaum emak-emak yang membawa sendiri tas-tas bersuasana raga (dalam format jaring/net) ketika pergi berbelanja ke pasar, tentulah menjadi kaidah yang mangkus jua. 

Gairah baru ini, akan melahirkan para desainer khusus merancang bentuk-bentuk tas yang modis dalam industri kreatif. Paling tidak, muncul lagi satu kreativitas baru dalam bisnis dan niaga. Tak perlu membugilkan diri dari plastik.


 

Yusmar Yusuf
Komentar Via Facebook :