https://www.elaeis.co

Berita / Sosok /

Nasib Elok Petani Sawit di Inhu: Dulu Dipandang Sebelah Mata, Kini Hidup Berkecukupan

Nasib Elok Petani Sawit di Inhu: Dulu Dipandang Sebelah Mata, Kini Hidup Berkecukupan

Sugianto. (Hamdan/Elaeis)


MASYARAKAT  transmigrasi di Desa Pontian Mekar, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, berharap kehidupan lebih terjamin di atas tanah pemberian pemerintah.

Pasalnya, ada sekitar 10 persen areal perkebunan kelapa sawit saat ini berubah status menjadi kawasan, padahal legalitas tanah telah bersertifikat hak milik.

Mereka itu dari suku Jawa, mengadu nasib ke Sumatera pada tahun 1994. Pemerintah menjamin tempat tinggal beserta lahan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan transmigrasi dan masyarakat, pemerataan pembangunan, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan.

Sugianto, salah satu warga Desa Pontian Mekar,  menuturkan selaku masyarakat transmigrasi sangat kecewa atas perubahan status lahan jadi kawasan, padahal tanah itu asalnya dari pemberian pemerintah.

"Kalau sistem semacam ini tidak dievaluasi sama saja mempermainkan warga transmigrasi yang saat ini pertumbuhan ekonominya terbilang sejahtera berkat hasil penjualan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit," katanya kepada elaeis.co, Kamis (2/4).

"Kami dulu dipandang sebelah mata karena kehidupan masih bergantung pada bantuan pemerintah. Akan tetapi sekarang hasil kerja keras itu terbayarkan sebagai petani kelapa sawit karena dapat mengubah segalanya," tambahnya.

Lelaki 45 tahun itu mengilas balik perjalan hidup masa lampau sebagai masyarakat miskin ekstrim. Mulai menginjak Bumi Lancang Kuning, ada dua hektar tanah diberi pemerintah dan dibangun kebun kelapa sawit oleh PT Indosawit Subur, anak PT Asian Agri lewat pola kemitraan PIR Trans agar kehidupan ke depan membawa berkah karena keuntungan industri sawit.

Sebelum dikonversi, kata Sugianto, dirinya bekerja sebagai karyawan perawat kebun plasma di PT Indosawit Subur untuk membantu kebutuhan sehari-hari sebelum kebun PIR Trans dikonversi.

Ada tiga tahapan kebun yang dikonversi yakni pada tahun 1994, 1995, dan 1997. Sistem pembayaran kredit dipotong dari hasil penjualan produktivitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sebesar 30%.

"Kebutuhan pokok waktu itu dijamin pemerintah alakadarnya, terbersit untuk makan enak jauh dari harapan. Makan seperti tahu dan tempe saja susah, yang ada ikan asin jatah pemerintah, itupun karena diberi. Kalau membeli di warung tidak ada dijual mungkin faktor infrastruktur terbilang buruk," katanya.

Dia mengakui, dampak luar biasa dari penghasilan kebun kelapa sawit tersebut pada tahun 1999 saat terjadi krisis moneter. Di mana, harga TBS mencapai ke level Rp 600 perak/kilogram dari sebelumnya 1997 dikisaran Rp 100 perak/kilogram.

Sejak itu, petani transmigrasi merasa berkebun kelapa sawit dapat mengubah nasib perkonomian ke depan.

Singkat cerita, yang awalnya luasan lahan dua hektar, kini luasan kebun kelapa sawit Sugianto  bertambah dan dapat menopang kebutuan sehari-hari serta menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi (kuliah).

Anak sulung Sugianto, Indra Abimanyu, S.Pd, telah bekerja sebagai guru di SMAN 1 Sungai Lalak, Indragiri Hulu, alumni UIR Pekanbaru. Sedangkan Elfida Candra Agustin (anak kedua), masih kuliah di sekolah tinggi kesehatan Pekanbaru.

"Jadi pada intinya, berkat komoditas kepala sawit masyarakat transmigrasi dapat keluar dari garis kemiskinan. Harapan kami kepada pemerintah jangan mempersoalkan lahan yang telah SHM karena rakyat sudah mengurangi beban pemerintah," pungkasnya.

Komentar Via Facebook :