https://www.elaeis.co

Berita / Serba-Serbi /

Nasib Apes PKSS (1)

Nasib Apes PKSS (1)

Tumpukan Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di PKS. Foto: Ist


Banten, elaeis.co – Dari dulu, Petani Kelapa Sawit Swadaya (PKSS) itu hidup mandiri. Makanya dibilang Petani Swadaya. 

Mereka bisa makmur hanya lantaran tahu diri.  Sebab dari mulai buka kebun sampai tanamannya menghasilkan, hari-hari mereka nyaris tak tersentuh oleh bantuan pemerintah, apalagi teknologi baru. 

Kalau kemudian harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawitnya dikadali oleh oknum tengkulak dan direzoki oleh oknum terkait izin ini itu, iya.  

Jadi, wajar kalau kemudian urusan produksi kebun, PKSS ini jauh di bawah petani Plasma yang sempat disusui pemerintah dan dapat pembinaan pula dari perusahaan bapak angkatnya meski entah kenapa, lima tahun terakhir, plasma ini memilih 'cerai' dari si bapak angkat. 

Lantaran segala sesuatunya dijalani mandiri, jangan pula heran kalau hamparan kebun PKSS ini berpencar, surat-suratnya pun beragam tingkatan, kebanyakan cuma surat desa.  

Tapi, meski mandiri, jumlah PKSS justru semakin hari semakin membengkak. Data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyebut, dari 6,8 juta hektar kebun kelapa sawit petani, 92% adalah milik PKSS, sisanya plasma. 

Meski hanya punya produksi TBS antara 400 – 600 kilogram per hektar per bulan, oleh jumlah yang banyak tadi, suka tidak suka, mereka telah menjadi pelakon besar dalam perjalanan kelapa sawit menjadi komoditi utama dan penyetor devisa utama Indonesia. Sekarang, lebih dari 20 juta orang, hidupnya bergantung kepada kelapa sawit! 

Oleh kemandirian dan peran yang luar biasa itu, boro-boro mereka ketiban reward, PKSS ini justru didapuk sebagai pembawa masalah lingkungan terbesar di Negeri ini. 

Kebunnya diklaim masuk dalam kawasan hutan, bibitnya disebut odong-odong, dan oleh klaim kawasan hutan tadi, PKSS ini pun jadi bulan-bulanan oknum yang jago memelintir hukum.     

Enam tahun lalu, Jokowi jadi presiden, ruang khusus untuk para PKSS ini dia hamparkan. Mulai dari Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) hingga regulasi keterlanjuran, dibikin bekas Gubernur DKI Jakarta ini untuk menggeret PKSS ini jadi petani yang lebih berkualitas dan keluar dari persoalan klaim kawasan hutan. 

Hanya saja, walau presiden yang langsung turun tangan, para penjilat dan oknum yang selama ini bermain dengan klaim kawasan hutan, tak lekas sudi merealisasikan kemudahan itu itu untuk PKSS. 

Oknum Non Government Organization (NGO) justru diajak untuk memperkuat alasan kalau PKSS benar-benar salah dan musti digusur dari klaim kawasan hutan itu. 

Mayoritas PKSS hanya bisa gigit jari menengok orang yang tak berada di klaim kawasan hutan, menerima gelontoran duit PSR. Soalnya, syarat boleh ikut PSR, kebun tidak berada di klaim kawasan hutan.  

Jerat baru bernama Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pun dibikin pula untuk menguatkan klaim kawasan hutan tadi. 

Disebut jerat baru lantaran PKSS dikasi tenggat hingga 2025 untuk mengantongi sertifikat ISPO, sementara syarat utama untuk dapat sertifikat ISPO itu, kebun tak boleh berada dalam kawasan hutan. Aturan ini juga berlaku untuk kebun yang mau di-PSR-kan.

"Silahkan teman-teman NGO berkoar lantang soal lingkungan, tapi ingat, lingkungan juga ditopang oleh aspek ekonomi dan sosial," kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung pada Forum Group Discussion (FGD) "Outlook Industri Kelapa Sawit Indonesia" yang digelar oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Kamis pekan lalu di kawasan Serpong, Banten. 

Pasal 17A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja (UUCIKA) kata lelaki 48 tahun ini, menjadi regulasi baru yang dibikin Presiden Jokowi untuk memberesi persoalan PKSS itu. 

"Saat ini Peraturan Pemerintah (PP) nya sedang digodok. Kami sangat berharap rancangan ini tidak masuk angin lagi, biar persoalan PKSS benar-benar bisa beres. Toh kalaupun ini beres, demi bangsa dan negara juga," katanya. (bersambung)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :