https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Memoar Paulus Tjakrawan: Kita Membangun Pabrik Biodiesel itu Penuh Idealisme!

Memoar Paulus Tjakrawan: Kita Membangun Pabrik Biodiesel itu Penuh Idealisme!

Banner ucapan duka kepada Paulus Tjakrawan dari BPDPKS. Foto: BPDPKS


Tadi pagi saya baru bisa tenang untuk mendengarkan kembali rekaman obrolan kami yang berlangsung pada jelang siang 29 Agustus 2022 lalu. 

Itu kali pertama saya berhubungan dengan Paulus Tjakrawan, yang saat itu masih Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi). Melalui telepon pula. Tapi, Paulus justru terasa betah meladeni saya ngobrol. Bagi saya, durasi obrolan itu sudah tergolong lama; 34:05:66. 

Walau sempat terganggu oleh telpon dari seorang rekannya di Lemhanas yang tak bisa datang ke Cibubur, tak membikin Paulus memutus telpon saya. Dia justru meminta saya menunggu sebentar. Tanpa mematikan telpon.   

"Maaf, barusan teman ngasi tahu enggak bisa datang. Saya lagi di Cibubur. Kami mau rapat Pramuka se-Indonesia. Kebetulan di Kwarnas Pramuka saya Kepala Puslitbang. Di Asia Pasific saya juga pengurus," humble sekali bapak ini, padahal semua pembicaraannya saya dengar. Saya membatin. 

Panjang kemudian Paulus bercerita kepada saya tentang Biodiesel, tentang seperti apa cikal bakal bahan bakar nabati ini dibikin, hingga sekarang sudah sampai di Bauran 35 persen atau B35. 

 

Berikut obrolan kami itu saya sampaikan secara bertutur; 

Kami mulai membikin biodiesel itu tahun 2006. Dulu namanya Biofuel. Waktu itu harga minyak sawit lebih rendah ketimbang minyak fossil. 

Tidak ada masalah saat itu meski setelah setahun, harga sawit kemudian naik. Naiknya harga sawit ini lantaran sebahagian sudah dipakai untuk biofuel.

Saat itu bauran masih sangat kecil, masih di angka 2,5 sampai 5 persen. Sifatnya pun masih Public Service Obligation (PSO) yang diterapkan di Jakarta hingga Cikampek dan kemudian mulai meluas ke Serang, Banten. 

Lantaran sudah berjalan, mulailah dipikirkan gimana caranya supaya Biofuel ini sustain. 2008 mandatori. Lantaran sudah harus, gimana pula ini? 

Pemerintah kemudian memberikan subsidi. Subsidi ini dambil dari pajak ekspor sawit yang saat itu sudah diberlakukan pemerintah. Subsidi itu wajar, lantaran mandatori tadi adalah program pemerintah.  

Program ini berjalan hingga di level B10 tahun 2013. Tetahun kemudian terhenti. Ini terjadi lantaran di tahun 2012 terjadi defisit perdagangan. Sesuatu yang belum pernah terjadi sejak puluh tahun sebelumnya. 

Kalau sudah terhenti, terus gimana? Pemerintah kemudian bersepakat dengan para eksportir sawit mencarikan dana. Lahirlah Pungutan Ekspor (PE). 

Bagi saya, PE ini bukan pajak. Tapi dana yang dipungut dari aktifitas sawit dan kemudian dipakai kembali untuk aktifitas sawit. Ada yang namanya program peremajaan, sarana dan prasarana, SDM dan yang lain. 

Mandatori kembali berjalan. Tapi sekali lagi, kata subsidi tidak tepat dipakai. Maaf nih, jangan pakai kata subsidi. 

 

Selisih harga biodiesel memang dibayarkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), tapi itu tadi, sumber duitnya dari duit yang dikumpulkan. Satu sen pun duit itu enggak ada dari pemerintah. Ini hal mendasar yang musti dimengerti oleh semua. 

Kenapa pengusaha sawit mau melakukan ini, karena ini juga permintaan pemerintah agar bisa menjaga harga sawit. Kita semua tahu kalau harga sawit tidak terjaga, yang pertama dan utama yang menjadi korban adalah petani. 

Sekarang timbul isu di luar. Uang sawit dipakai untuk membiayai konglomerat. Itu enggak tepat. Usaha ini terbuka untuk siapa saja. 

Kalau oligopoli --- usaha ini tertutup hanya untuk beberapa industri --- bolehlah dibilang begitu. Ini kan tidak. Siapapun dipersilakan untuk ikut membikin biodiesel. Dari yang kecil sampai yang besar, silakan. Lagi pula, proses pembuatan biodiesel itu sederhana saja kok. Enggak complicated sekali. 
 
Toh pemerintah kok yang mengatur semua. Keuntungan, margin dan lain-lain, semuanya ditentukan oleh pemerintah. 

Jadi, kalau dibilang biodiesel itu hanya untuk konglomerat, itu enggak tepat. Apalagi sampai ada yang bilang kartel, enggak benar itu. Saya mengikuti sejak semula. Makanya saya tahu persis. 

Berikutnya, kok bisa ada perbedaan harga yang demikian tinggi? Ini perlu diketahui, di seluruh dunia, enggak ada energi terbarukan itu lebih murah ketimbang energi fosil. 

Fosil itu udah kakek nenek. Yang baru lebih mahal, sebab dia anak baru yang musti sekolah, kuliah. Makanya mahal. Begitulah analoginya. Di seluruh dunia begitu. 

Sekarang gimana upaya? Musti ada mekanisme agar ini bisa berjalan. Masing-masing negara punya mekanisme.

Di Italy misalnya harga solar Rp20 ribu per liter. 

 

Itu karena pajaknya 100%. Beda dengan di Indonesia, solar disubsidi. Di Italy tadi, kalau solarnya ditambah dengan energi terbarukan, barulah pajaknya dikurangi. Yang tadinya 100% bisa menjadi 60%. 

Di Amerika, setiap biodiesel dicampur dengan solar, mereka dapat dana dari pemerintah. Indonesia, mengambil cara seperti yang ada sekarang. 

Supaya biodiesel bisa laku, bisa dipakai, dikasilah insentif. Tapi insentif itu dari kebun sendiri, dana dari pengekspor sendiri. 

Harusnya ini dari pemerintah. Kalau dulu pemerintah bisa membiayai pertamina demikian besar, kenapa biodiesel yang dibiayai sendiri malah diributi? 

Saya pernah menghadap DPR terkait waktu dulu kita dapat. Mereka bertanya, kenapa biodiesel perlu subsidi?

Saya mengatakan, ya haruslah. Toh yang beli minyak (solar) juga disubsidi. Kenapa kita enggak. 

Puluhan tahun indonesia mensubsidi harga minyak, pernah nggak kita bertanya subsidi itu untuk siapa? Kartel kah itu, untuk orang Arab kah itu, untuk orang Singapura kah itu. Enggak pernah, sebab kita selalu berpikir bahwa subsidi itu untuk rakyat. 

Sekarang, perusahaan dalam negeri yang memproduksi, kenapa menjadi anti, kenapa tiba-tiba muncul omongan subsidi untuk perusahaan dalam negeri? aneh kan? 

Jujur, saya heran. Kita tidak fair, bahwa subsidi atau apapun namanya meski saya tidak bisa mengatakan subsidi untuk biodiesel itu adalah subsidi, itu bukan untuk para pengusaha tapi untuk rakyat sehingga bisa memakai (biodiesel) itu. Ini persoalan penting. 

Kenapa kalau solar impor itu tidak dibilang subsidi diberikan kepada perusahaan luar negeri yang mengekspor. Kenapa? 

Mestinya perlakuan harus sama dong. Enggak bisa kayak begini. Kalau kayak begini terus, industri dalam negeri enggak akan maju. 

Artinyakan kita lebih senang impor. Kalau impor, enggak dinamakan subsidi. Kalau dalam negeri, itu subsidi.

Terus, banyak juga isu soal petani. Petani dibilang tidak menikmati. Saya kira itu salah. Apapun, kalau harga TBS sekarang di atas 2000, kan naik semua. 

Petani enggak menikmati lantaran jauh, karena ada tengkulak dan lain-lain. Itu mungkin benar. Tapi itu bukan urusan pabrik biodiesel. Itu urusan lain. 

Yang suka berteriak itu, mestinya dialah yang membikin koperasi, agar petani berkelembagaan. Bila perlu bikin PKS sendiri. 

Tapi yang ada justru, mereka malah menyalahkan kita, mana ini biodiesel? Begini, biodiesel itu bahan bakunya adalah CPO dan RBDPO. Jadi kami membeli dari PKS. Kita enggak pernah berhubungan langsung dengan para petani. 

Kalau ada yang bilang dana terkuras ke biodiesel. Ya memang segitulah biaya produksinya. Kalau memang kemudian keberatan, ya distop. Kami juga sudah siap distop. Tapi kalau kemudian distop, siapa yang korban duluan? Petani. 

Jangankan distop, ada isu saja Indonesia akan turunkan B30 menjadi B20 atau stop sementara biodisel, saya jamin, harga TBS akan anjlok. Impor solar membengkak. sekarang pilih yang mana?

Jadi saya kira, jangan asal ngomonglah soal biodiesel. Jangan bicara idealisme sama saya. Sebab kita membangun pabrik biodiesel itu dengan penuh idealisme. Soal untung, itu nomor dua atau tiga. 

Dan perlu dicatat, dengan memproduksi 2500 barrel per hari, biodiesel telah mempekerjakan 10 ribu-an orang. Beda dengan di fosil. Dengan produksi segitu, hanya membutuhkan tenaga kerja 250 orang

Lalu, dengan biodiesel, kita telah mengurangi emisi yang luar biasa besar dan bisa membantu mengurangi devisit perdagangan, dan lain-lain. 

Ah, saya kembali tersadar kalau Ketua Umum Aprobi yang saya ceritakan ini telah pergi untuk selamanya kemarin. Meninggalkan segudang cerita dan idealisme yang terus tumbuh. 

Seperti terus tumbuhnya biodiesel itu untuk menyelamatkan negeri. Tak hanya ekonomi, tapi juga alam. 

Selamat jalan Pak Paulus, namamu akan terus harum di seantoro nusa. Di antara nadi para pelaku sawit dan di antara tegakan pabrik-pabrik biodiesel yang telah berkapasitas terpasang 17,6 juta kiloliter itu...



 

Komentar Via Facebook :