https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Klaim Kawasan Hutan Penghambat PSR

Klaim Kawasan Hutan Penghambat PSR

Sudarsono Soedomo. foto: aziz


Klaim kawasan hutan telah menghambat kemajuan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), yang capaiannya jauh di bawah target. 

Klaim kawasan hutan telah menimbulkan ketidakpastian legalitas tanah yang akan diikutsertakan dalam Program PSR, mengingat legalitas tanah merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan dana dalam Program PSR.

Hal yang membuat miris adalah bahwa ketidakpastian tersebut dikemukakan secara implisit oleh pemerintah sendiri. 

Tulisan ini akan membahas ketidakpastian status legal tanah calon peserta Program PSR yang telah ber-Sertipikat Hak Milik (SHM).

Ketentuan Pasal 17 ayat (5) Permentan Nomor 03 Tahun 2022 yang telah diubah melalui Permentan Nomor 19 Tahun 2023 sehingga berbunyi: Status lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan keterangan: a. tidak berada di kawasan hutan dari unit kerja kementerian yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan; dan b. tidak berada di lahan Hak Guna Usaha, dari kantor pertanahan. 

Adapun ayat (2) berbunyi: Dokumen penguasaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan Sertipikat Hak Milik.

Konstruksi aturan di atas secara implisit menyatakan bahwa Sertipikat Hak Milik adalah bukan jaminan legalitas atas suatu bidang tanah yang dinyatakan pada sertipikat tersebut. 

Secara implisit Kementerian Pertanian meragukan hasil pekerjaan Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Banyak bidang tanah ber-SHM hasil dari program transmigrasi dekade 1980-1990an diklaim berada
di dalam kawasan hutan setelah tahun 2000. 

Akibatnya, bidang tanah seperti ini menjadi tidak dapat diikut-sertakan dalam Program PSR. Seharusnya, SHM itu merupakan dokumen yang menyatakan legalitas atas penguasaan suatu bidang tanah, bukan sekedar dokumen yang menunjukkan penguasaan suatu bidang tanah. 

Selain itu, pemerintah, dalam hal ini KLHK, juga sama tidak percaya produk pemerintah sendiri.

Jika saja Kementerian Pertanian menghargai keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011, maka rumusan Pasal 17 Permentan 19 Tahun 2023 sebagaimana dikutip di atas tidak akan pernah terjadi, karena bila SHM tidak diperhatikan dalam pelaksanaan penguasaan hutan oleh negara, termasuk penetapan kawasan hutan, maka penguasaan hutan oleh negara tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Dengan demikian, bidang tanah yang telah ber-SHM tidak perlu diuji status lahannya oleh otoritas kehutanan, yang hanya akan menghambat pelaksanaan Program PSR. 

Jika antar lembaga pemerintah tidak saling percaya terhadap sesamanya, maka apakah rakyat masih harus percaya?


Sudarsono Soedomo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University

 


 

Komentar Via Facebook :