https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Jutaan Ton Minyak Jelantah Diekspor, Indonesia Kehilangan Bahan Baku Bioduesel

Jutaan Ton Minyak Jelantah Diekspor, Indonesia Kehilangan Bahan Baku Bioduesel

Gerai penampungan minyak jelantah. foto: Pertamina


Jakarta, elaeis.co – Minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) selama ini kerap menjadi limbah dapur yang mencemari lingkungan. Padahal, UCO menyimpan potensi besar sebagai bahan bakar nabati rendah emisi yang mampu menopang ketahanan energi nasional. Sayangnya, peluang besar ini belum benar-benar dimanfaatkan oleh Indonesia.

Berdasarkan laporan Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), konsumsi minyak goreng nasional mencapai 8,3 juta kiloliter per tahun, yang menghasilkan sekitar 3,6 juta kiloliter UCO setara dengan 3,13 juta ton limbah jelantah. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk mendukung program energi terbarukan. Tapi kenyataannya, lebih dari 80% UCO justru mengalir ke luar negeri dalam bentuk ekspor.

"Saat ini hanya sekitar 640 ribu kiloliter jelantah yang bisa dikumpulkan setiap tahunnya. Itu pun sebagian besar diekspor karena pasar dalam negeri belum berkembang," demikian laporan IPOSS dilansir elaeis.co, Ahad (13/7). 

Negara-negara seperti Eropa dan Asia Timur sudah menjadikan UCO sebagai bagian dari sistem energi mereka. Uni Eropa, misalnya, mengakui UCO sebagai bahan baku biofuel rendah emisi dalam kerangka Renewable Energy Directive II (RED II), dengan pengurangan emisi hingga 84% dibanding diesel konvensional.

Sebagai gambaran, setiap 1 liter UCO-biodiesel dapat mengurangi 2,25 kg setara CO₂, jauh lebih tinggi dibanding CPO-biodiesel yang hanya menghemat 19%.

Ironisnya, di Indonesia, UCO belum dimasukkan dalam skema Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel yang selama ini hanya merujuk pada harga Crude Palm Oil (CPO). Akibatnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) hanya mensubsidi pembelian CPO untuk program biodiesel, tidak untuk UCO.

“Inilah yang menyebabkan harga UCO di dalam negeri kurang menarik dibanding pasar ekspor. Tanpa dukungan kebijakan, pemain dalam negeri tak bisa bersaing,” demikian penjelasan IPOSS.

Jika seluruh potensi UCO nasional digunakan sebagai bahan bakar, Indonesia berpeluang menghasilkan 3,4 juta kiloliter biodiesel per tahun, dengan penghematan emisi mencapai 7,7 juta ton CO₂e.

Karena itu, IPOSS menyerukan agar pemerintah segera membuka ruang kebijakan yang lebih progresif. Revisi HIP Biodiesel dan penyertaan UCO dalam skema subsidi dinilai menjadi kunci agar Indonesia tidak lagi sekadar “menyuplai energi bersih” ke negara lain, melainkan bisa mandiri energi dari limbahnya sendiri.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :