Berita / Feature /
Bagian Pertama
Jejak Kebun Sawit Rakyat Gotting Sidodadi
Wajah Dusun III Gotting Sidodadi dari udara. foto: herman
Bisa dibilang kebun kelapa sawit mereka menjadi yang pertama meraih sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) di Kabupaten Asahan. Sempat mengalami kegetiran yang mendalam.
Matahari sudah merangkak naik sejak tiga jam lalu, saat kami tiba di depan rumah papan sederhana itu, Selasa pekan lalu. Pamplet bertuliskan Koperasi Petani Kelapa Sawit (KPKS) "Kesepakatan" yang menggantung di bibir lisplang bagian depan, menjadi penanda kalau rumah itu dipakai sebagai kantor.
Timbangan digital yang teronggok di sisi kiri rumah yang terletak di jalan lintas Dusun III Ambar, Desa Gotting Sidodadi Kecamatan Bandar Pasir Mandoge Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara itu, menandakan pula kalau kantor tadi juga mengurusi jual beli Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit.
Butuh waktu sekitar dua jam kami menunggangi Hilux dari Kisaran, ibukota Kabupaten Asahan, agar bisa sampai ke perkampungan ini meski sesungguhnya, jarak tempuhnya tidak terlalu jauh; hanya sekitar 47 kilometer.
Yang membuat kami mau jauh-jauh datang ke perkampungan ini bukan untuk sekadar menengok jejeran pohon kelapa sawit tua yang sudah berumur sekitar 39-40 tahun, yang lebih penting lagi justru ingin menggali lebih dalam cerita panjang para petani sawit yang ada di sana, di desa yang baru 17 tahun lalu mekar dari Desa Silau Jawa.
"Banyak suka duka yang sudah kami alami di sini. Yang paling tak terlupakan itu, kami pernah 'kehilangan' semua kebun kami," sambil menyobek pisang goreng kipas yang telah disiapkan oleh anak buahnya, Syarifuddin Sirait mulai berkisah.
Tak pernah terbayangkan oleh masyarakat kata Ketua KPKS ‘Kesepakatan’ ini bakal menjadi petani kelapa sawit. Sebab hingga tahun '80-an, masyarakat di sana masih hanya tahu bertanam karet, nangka, petai, jengkol hingga salak.
Namun setelah warga yang berada di kawasan Silau Jawa telah menikmati hasil program yang sama lebih dulu, 181 kepala keluarga masyarakat Gotting kemudian dengan senang hati menerima kehadiran PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) V area Huta Padang, untuk menuntun mereka menjadi pekebun sawit.
Jadilah lahan seluas 362 hektar di kampung itu dikerjasamakan dalam skema Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Lokal. Ini berarti masing-masing kepala keluarga bakal kebagian kebun sawit 2 hektar. Orang-orang sering menyebut; 1 kavling.
“Saat itu semangat masyarakat benar-benar luar biasa. Kami merasa bahwa program ini akan membuat masa depan kami cerah, sawit bakal menjadi ‘emas hijau’,” lelaki 55 tahun ini sumringah.
Tapi sayang, untuk meraih mimpi itu rupanya tak semudah yang dibayangkan. Sebab setelah kebun kelapa sawit tadi menghasilkan, persis tahun 1991, Pemerintah Daerah (Pemda) Asahan mengambil alih semua kebun kelapa sawit itu.
Alasannya, bahwa lahan yang dipakai untuk perkebunan kelapa sawit itu adalah milik Pemda. Kebun tersebut kemudian dikelola oleh Unit Usaha Otonom Daerah (UUOD) — semacam Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di masa itu.
“Kita kaget, soalnya kan sebelumnya dijanjikan bahwa kebun akan diserahkan kepada masyarakat setelah berproduksi. Tapi kenyataannya justru setelah panen pertama, semuanya diambil alih pemerintah. Hasil panen sawit kami diangkut, uangnya masuk ke Pemda,” suara ayah tiga anak ini mulai meninggi.
Dalam kekagetan tadi, masyarakat sontak protes. Mereka melakukan perlawanan. Namun di masa itu, perlawanan terhadap kebijakan pemerintah sama saja seperti menantang badai.
Buktinya, Bupati yang masa itu berasal dari militer, langsung menerjunkan militer ke areal kebun. “Malah kampung kami ini sempat dijadikan kawasan latihan tembak-menembak. Kami, orang-orang tua kami trauma. Malah ada yang sampai akhir hayatnya, kalau menengok orang berseragam militer langsung lari,” mata Syarifuddin menerawang jauh, suaranya lirih.
Ada sekitar empat tahun lamanya masyarakat hidup tanpa penghasilan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka coba mengusahai tanah-tanah yang tersisa, khususnya tanah-tanah yang ada di bagian lereng bukit dan bahkan di lahan yang curam. (Bersambung…)







Komentar Via Facebook :