https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Ini Penyebab Luas Tutupan Sawit Membengkak Jadi 17,3 Juta Hektar Versi Kementan

Ini Penyebab Luas Tutupan Sawit Membengkak Jadi 17,3 Juta Hektar Versi Kementan

Hamparan kebun kelapa sawit di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto: Aziz


Jakarta, elaeis.co - Badan Informasi Geospasial (BIG) baru-baru ini mengungkapkan data terbaru luas tutupan perkebunan kelapa sawit yang ternyata sudah mencapai 17,3 juta hektar pada tahun 2023. 

Luasan ini bertambah 0,5 juta hektar dibandingkan data BPS tahun 2022 yang mencapai 16,8 juta hektar. Dan jika merujuk pada data Kementerian Pertanian, luasan ini bertambah 0,9 juta hektar dibandingkan data tahun 2021. 

Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Ardi Praptono, saat dikonfirmasi mengungkapkan penyebab membengkaknya luas perkebunan sawit ini.

Ardi menjelaskan, data statistik perkebunan tahun 2023 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal (ditjen) Perkebunan didasarkan kepada data tabular yang dikumpulkan dari setiap kabupaten dan provinsi lalu direkonsiliasi dengan data tutupan kelapa sawit yang diperbarui tahun 2021.

"Pada saat data statistik perkebunan diterbitkan, data tutupan kelapa sawit yang di-update tahun 2023 seluas 17,2 juta hektar yang disebutkan BIG belum selesai untuk bisa dirilis. Selain itu, untuk penerbitan data statistik memerlukan rekonsiliasi data dengan Badan Pusat Statistik (BPS)," ungkap Ardi, Kamis (4/4). 

"Data tutupan kelapa sawit yang disampaikan oleh BIG sebenarnya adalah data yang diperoleh dari hasil kerja sama Ditjen Perkebunan, BIG, dan UGM atas pendanaan BPDPKS," tambahnya.

Lebih lanjut Ardi menjelaskan bahwa peningkatan luas lahan sawit berdasarkan data tutupan kelapa sawit dari 16,8 juta hektar menjadi 17,2 juta hektar muncul akibat adanya perbedaan citra satelit yang digunakan pada waktu updating tutupan sawit. 

"Pada tahun 2021 citra satelit yang digunakan adalah citra satelit tahun 2019. Sedangkan pada updating tutupan sawit tahun 2023, citra satelit yang digunakan adalah citra satelit 2021 dan 2022," ujarnya.

"Perbedaan data citra satelit mengakibatkan perbedaan tutupan awan sehingga mengakibatkan perbedaan interpretasi peta," imbuhnya.
 

Komentar Via Facebook :