https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Ide Mutiara Menyelamatkan Industri Sawit Nusantara

Ide Mutiara Menyelamatkan Industri Sawit Nusantara

Mutiara Panjaitan. foto: ist


BOSI . Lebih dari setahun perempuan cantik ini menghabiskan waktu, pikiran dan tenaga untuk kemudian menemukan dan menyodorkan nama itu kepada promotornya; Prof.Dr.Agus Sardjono,SH,MH 

Meski namanya sangat singkat, hanya empat huruf, tapi di dalamnya terhampar rangkaian skema besar yang berpotensi besar pula, menyelematkan industri kelapa sawit nasional. 

“Badan Otoritas Sawit Indonesia (BOSI), ini menurut saya sangat bisa untuk menguraikan segala persoalan industri kelapa sawit yang ada sekarang, Prof,” kata Mutiara Panjaitan sambil memandangi sang Profesor. 

Yang dipandangi masih tampak serius, menyoroti isi disertasinya yang berjudul; Aspek Hukum Investasi Kelapa Sawit: Tantangan dan Optimalisasinya, itu. Lalu Prof Agus manggut-manggut.

Lelaki 69 tahun ini tak menyangka kalau Mutiara akan sejauh itu mengulik sengkarut perkelapasawitan yang ada di Indonesia, bahkan menyodorkan solusi kongkrit pula. 

Spontan saja Prof. Agus teringat awal anak kedua dari empat bersaudara itu mengajukan usulan penelitian kepadanya. 

Waktu itu, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia sempat ragu dengan proposal itu. “Anda mampu melakukan penelitian ini? Ini tidak mudah lho,” Prof. Agus berusaha memastikan. 

Mutiara justru dengan percaya diri mengatakan sanggup. “Saya sanggup, Prof,” perempuan kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara (Sumut) ini balik meyakinkan Promotornya itu. 

Apa yang dia yakinkan itulah, dua hari lagi, akan dia hamparkan di Sidang Terbuka Promosi Program Doktor Doktor Ilmu Hukum FHUI, di Gedung F Lantai 2 Balai Sidang Djokosoetono FHUI, di kawasan Depok, Jawa Barat (Jabar). 

Ada delapan orang profesor dan doktor yang akan menguji BOSI yang disodorkan oleh putri dari pasangan (alm) Batara Manuasa Panjaitan dan Rukia Napitupulu itu. 

Mulai dari Prof. Dr. Agus Sardjono, SH, MH yang merangkap promotor, Dr. Harsanto Nursadi, SH, M.Si (kopromotor), Prof. Dr. Yetty Komalasari Dewi, SH, MLI, Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, Msc, Dr. Sadino, SH, MH

Akhmad Budi Cahyono, SH, MH, Dr.Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP., C.APO., C.IMA dan Dr. Febby Mutiara Nelson, SH, MH Dr. Parulian Paidi Aritonang, SH, LL.M yang akan menjadi ketua sidang. 

"Ragam persoalan yang dihadapi oleh para pelaku sawit, baik di hulu maupun di hilir. Meski begitu, ada irisan persoalan di antaranya yang saling terkait," begitulah Mutiara menengok persoalan yang ada itu, yang kemudian dia urai dalam disertasinya. 

Mutiara kemudian menggambarkan bahwa ada dua pelaku usaha di hulu; perusahaan sawit dan petani sawit yang persoalannya beririsan dengan dua jenis usaha di hilir; perusahaan biofuel dan oleokimia.

Irisan persoalan yang saling terkait dengan keempatnya, ada tiga; permasalahan legalitas lahan, ketidakharmonisan kebijakan antar kementerian dan lembaga yang ada serta kebijakan internasional. 

Tiga irisan persoalan tadi, ada 3,3 juta hektar kebun kelapa sawit yang terindikasi masuk ke kawasan hutan. Lalu ada pula 32 kementerian dan kelembagaan yang ikut campur dengan sawit. Saling menonjolkan ego. 

“Irisan ketiga adalah, adanya diskriminasi yang kemudian dilindungi pada produk keberlanjutan,” perempuan yang karib dipanggil Muti ini mengurai. 

Jika tiga irisan ini tidak segera dituntaskan, persoalan legalitas lahan akan menyebabkan produksi turun. Dampaknya, devisa akan turun, Pungutan Ekspor (PE) turun, biodiesel terancam. 

Lalu bila diskriminasi terus terbiarkan, akan menjadi penghambat ekspor. Dampaknya, akan terjadi over supplay, harga fluktuatif dan harga TBS dipastikan terjerembab. 

Terkait kementerian dan lembaga tadi menurut Muti, banyak kebijakan yang muncul dan bahkan saling membandingkan dengan kementerian lainnya. 

Misalnya begini; kalau pengusaha yang membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Kementerian Pertanian bilang, pabrik itu harus terintegrasi dengan kebun, sementara Kementerian Perindustrian bilang, tidak wajib. Pelaku usahapun bingung. 

Yang semacam ini, kalau dibiarkan berlama-lama tentu akan membuat perizinan menjadi hangat. Akibatnya, investasi tidak berkembang dan lapangan kerja terancam. 

Mirisnya, kebijakan yang dibikin itu, sebentar lagi sudah pula berubah. Tidak ada pertimbangan bahwa investasi kelapa sawit itu bersifat jangka panjang dan mestinya dibarengi regulasi jangka panjang pula. Inilah yang ikut serta dalam pelaku sawit puyeng.

Sebenarnya kata Muti, sejak tahun 2010 pemerintah telah berupaya menghadirkan kebijakan sederet untuk memberesi semua permasalahan yang ada tadi. 

Bahkan sejumlah peraturan presiden turut mewarnai kebijakan itu. Tapi sayang, hingga Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang diharapkan bisa menyelamatkan investasi nongol, persoalannya masih saja ruwet. 

UUCK nya punya semangat menyelesaikan masalah, tapi enggak turun pada peraturan turunannya. Jadinya ya kayak sekaranglah, katanya.

Menengok semua kenyataan itulah makanya Muti menyodorkan apa yang disebut BOSI tadi. Lembaga ini akan menjadi satu-satunya yang mengurusi sawit, mulai dari hulu sampai hilir. 

BOSI akan bersinergi langsung dengan swasta dan asosiasi kelapa sawit yang ada. BOSI juga akan menerapkan mekanisme akuntabilitas dan transparansi serta standar kredibilitas yang tinggi.

Tapi lembaga ini baru akan bisa berjalan kalau mendapat dukungan langsung dari Presiden Prabowo. Sebab BOSI diharapkan akan berada langsung di bawah presiden, ujarnya. 
 
Tak berlebihan sebenarnya bila Mutiara punya harapan besar, Presiden Prabowo segera melirik idenya itu. Sebab apapun ceritanya, sawit telah menjadi ikon negara sejak lebih dari satu dekade terakhir. 

Tak hanya menghidupi lebih dari 20 juta keluarga masyarakat Indonesia dan 16,5 juta pekerja, tapi sawit juga telah muncul sebagai penyetor devisa terbesar, mencapai USD65 miliar setahun. 

Angka ini belum termasuk peran sawit menghemat devisa impor hingga di angka lebih dari Rp400 triliun dan menurunkan emisi karbon hingga 32 juta ton per tahun. 


 

Komentar Via Facebook :