Berita / Pojok /
Hadiah Lebaran Pelaku Perkelapasawitan Indonesia
Oleh: Gus Dalhari Harahap
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 05 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) adalah bentuk legalisasi kezaliman Pemerintah kepada masyarakatnya.
Sebab yang sedang dilakukan adalah upaya "merampas" apa yang telah diusai oleh para pelaku usaha sejak lama, bukan hal baru yang kemudian mereka tertangkap basah melakukan kesalahan.
Lihat sajalah kebun-kebun dengan tanam sawit yang telah berumur begitu lama itu, para pelaku usaha membentuk institusi perusahaan nya melalui proses yang juga memakan waktu yang cukup lama.
Saat itu mereka dipastikan telah berkoordinasi dengan para "rezim pemberi izin" (saat itu), tidak terkecuali dengan tokoh-tokoh masyarakat di sekitar areal yang akan dikuasai. Maka regulasi yang dianggap perlu pada saat itu, dipenuhi oleh para pelaku usaha.
Tapi sayang, semua yang telah dipenuhi itu agaknya tidak berarti apa-apa. Stigma ilegal justru yang paling mengemuka. Hingga kemudian menjadi sebuah pembenaran untuk diambil alih paksa.
Padahal, dengan mengambilalih paksa usaha tanpa proses pengadilan ataupun mediasi sanksi yang telah diatur oleh regulasi lain, merupakan bentuk otoriter pemerintah.
Saya tidak terlalu menyalahkan pemerintah. Kenapa? Karena signal situasi ini sudah ada dan para pelaku asosiasi petani, pengusaha, menurut saya dinina-bobokan dengan janji-janji yang sudah terlanjur diucapkan hingga kemudian membuat situasi ini --- upaya-upaya tadi --- menjadi biasa dan wajar.
Pembentukan Perpres No. 05 Tahun 2025, pembentukan perusahaan PT. Agrinas Palma, SK Menhut No. 36 Tahun 2025, itu merupakan signal legalisasi pengambil alihan lahan sawit yang seyogyanya belum clear untuk masalah status lahan itu sendiri.
Kenapa? Karena regulasi yang ada tentang tahapan pengukuhan kawasan hutan itu sendiri, belum dijalankan.
Yang paling parahnya, ada situasi yang lain, pemerintah juga sudah menyiapkan payung regulasinya. Tapi pada saat sekarang, sulit untuk menolak dan membantah aksi Satgas itu sendiri, karena Satgas merasa benar karena dilindungi regulasi yang ada, meskipun tanpa ada standar proses justice yang berlaku di negara Indonesia (yang katanya negara hukum & hukum adalah panglima).
Itu semua karena pelaku usaha terlambat merespon, karena merasa telah menjadi bagian dari pelaku sistem rezim saat ini.
Padahal rezim memiliki agenda tersendiri untuk hal tersebut. Itulah makanya saya mengatakan, "nasi telah jadi bubur", sudah terlambat.
Yang ada hanya menunggu ekses/akibat dari kebijakan itu terhadap kedaulatan negara yang menurut saya para pelaku usaha sawit yang dulu disebut "gurita", dipastikan tidak akan tinggal diam dan pasti akan bereaksi dengan jaringannya (luar dan dalam negeri).
Dipastikan, dampak dari ekses yang terjadi adalah; negara, petani kelapa sawit dan masyarakat akan terganggu. Demikian pandangan saya. Semoga pelaku Perkelapasawitan merapatkan barisan.







Komentar Via Facebook :