Berita / Feature /
Cerita Sejoli Ambalutu
Nurhayati dan Ramin Mulyono yang telah 20 tahun jadi pemanen sawit. foto: herman
Hujan masih malas-malasan berhenti saat kami ngobrol bertiga di atas timbangan digital di samping kantor Koperasi Petani Kelapa Sawit (KPKS) Kesepakatan itu, Selasa sore pekan lalu.
Tadinya Ramin Mulyono masih akan mengegrek buah kelapa sawit di kebun yang tak jauh dari kantor itu. Tapi apa daya, hujan memaksanya segera berhenti. Jadilah egrek yang sudah sambung tiga itu dia beresi.
Istrinya Nurhayati, sudah lebih dahulu berteduh di teras kantor itu. Sebahagian lengan bajunya rada kuyup. Ramin malah lebih kuyup lagi. Sebab di tengah derai hujan itu dia masih harus memberesi egrek tadi.
Ramin dan Nurhayati tidak punya kebun kelapa sawit di Dusun III Desa Gotting Sidodadi, Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara itu.
Pasangan suami ini justru berprofesi sebagai buruh panen, dan mereka tidak tinggal di sana, tapi di Desa Ambalutu Kecamatan Buntu Pane, yang berjarak satu jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari kantor KPKS Kesepakatan itu.
Ini berarti, saban hari mereka musti menempuh perjalanan dua jam. Lantaran cukup jauh, jam tujuh pagi pasangan ini sudah menggeber sepeda motor dari rumah.
Uniknya, pasangan ini tidak hanya cari borongan panen di Gotting Sodadi, tapi juga di Desa Silau Jawa. Desa terakhir ini adalah bekas induk Gotting. Jadi, kalau misalnya borongan di Gotting pekan ini, pekan depan mereka di Silau Jawa. “Sudah sekitar 20 tahun kami berdua menjalani profesi ini,” Ramin membuka cerita.
Kalau saja PT. Perkebunan Nusantara 3 Ambalutu menerima lamarannya sebagai karyawan, bisa jadi Ramin tidak akan mengenal Gotting. Sebab waktu itu, sekitar tahun 2000-an, Ramin sudah menjadi buruh harian lepas di kebun milik pemerintah itu.
“Waktu itu saya jadi buruh di bagian tunasan. Tapi karna lamaran saya enggak jebol-jebol, saya akhirnya memilih mandiri saja. Waktu itu kami sudah punya anak satu,” kenang lelaki 46 tahun ini mengulum senyum.
Semula, Nur hanya ngurusi rumah. Namun lantaran pekerjaan Ramin sifatnya borongan dan harus cari kernet (pembantu) saat panen, perempuan 40 tahun ini menyodorkan diri jadi kernet.
“Biar nggak bayar orang lain. Kalau saya ikut kan gajinya utuh sama kami. Biarlah saya yang jadi kernetnya. Tugas saya ya menyusun pelepah, mengangkat buah dan memastikan hasil panen bersih,” Nur tertawa kecil.
Perempuan yang masih menyodorkan gurat kecantikannya ini tak menampik kalau di awal, profesi barunya itu terasa berat. Tapi lama kelamaan, menjadi biasa saja. “Awalnya sih kaget. Ngangkatnya gimana ini, nyusunnya gimana, semuanya nggak tahu. Tapi lama kelamaan menjadi terbiasa lah,” katanya.
Di awal kata Ramin, hitungan kerja mereka dinilai dengan satuan ton. “Hasil panen satu ton dibayar Rp120 ribu. Satu hari paling dapat 2 ton. Ini berarti kami dapat Rp240 ribu lah sehari. Nah, kalau kernet dari luar, berarti bagi dua. Karna kernetnya istri saya, untuk kami lah semua,” ujar Ramin tertawa.
Belakangan, hitungan itu berubah menjadi per tandan. Yang membikin pasangan ini sumringah, bulan ini tarif mereka naik dari Rp4 ribu menjadi Rp7 ribu per tandan. “Panen kami hari ini 101 tandan. Lumayan lah, dapat Rp700 ribu sehari,” katanya.
Nah, di Koperasi Pelita yang di Silau Jawa, hitungannya kata Ramin masih per ton, Rp110 ribu. Hanya saja di sana, pohon yang akan dipanen lebih pendek ketimbang di Gotting. Jadi produksi di Silau Jawa akan lebih banyak.
Sebagai profesi yang rentan resiko, ada satu pengalaman pahit yang tak terlupakan oleh pasangan ini. “Waktu itu kami berangkat kerja. Di kampung kan banyak anjing peliharaan. Nah, kami lumayan laju, anjing lewat, terlanggarlah. Jatuh kami, Pak. Saya sampai nggak sadar sembilan jam di rumah sakit. Bahkan istri saya digigit anjing itu,” ujarnya.
Namun alhamdulillah, insiden itu tidak berlangsung lama. Pasangan ini kembali pulih dan kemudian bisa beraktifitas kembali seperti biasa.
Dari Nol hingga Memiliki Rumah, Ladang, dan Belasan Sapi
Kerja keras mereka ternyata tak sia-sia. Sedikit demi sedikit, pendapatan dikumpulkan, diolah menjadi aset jangka panjang. “Alhamdulillah. Sekarang kami sudah punya rumah, ladang satu hektar lebih. Terus, sapi sudah 13 ekor dari yang tadinya 4 ekor,” Ramin merinci.
Biar semuanya terurus, pasangan ini selalu mengatur waktu. Mengurusi kebun orang dari pagi sampai siang dan sorenya mengecek sapi-sapi yang sengaja dilepas di padang rumput.
Di saat seperti itu pula pasangan ini intens bersama dua buah hatinya. Anak pertama mereka, kini sudah berusia 23 tahun dan sudah bekerja setelah lulus SMK. Anak kedua sedang sekolah di SMK jurusan komputer.
Meski sudah punya hal-hal yang dulu terkesan mustahil mereka punya, masih ada satu mimpi yang masih mereka simpan rapi. “Pengen umroh,” bergetar suara Nur mengatakan itu. Dan mimpi itu agaknya akan segera terwujud. Sebab pasangan ini sudah terus menabung demi mimpi itu.







Komentar Via Facebook :