Berita / Feature /
Cerita Sawit Berkelanjutan di Gotting Sidodadi
Hendra Butar-butar. foto: herman
Sore Selasa pekan lalu itu, matahari condong ke barat, menembus sela-sela pohon kelapa sawit yang sudah berumur puluhan tahun di Desa Goting Sidodadi, Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Suara burung dan desah angin dari pelepah sawit menjadi latar alami yang khas dari desa kecil ini.
Dari kejauhan, tampak hamparan sawit tua yang rindang milik Koperasi Petani Kelapa Sawit (KPKS) Kesepakatan, sebuah kelembagaan petani yang sudah berdiri sekitar lima belas tahun silam.
Bagi warga Goting Sidodadi, koperasi ini bukan sekadar tempat menjual hasil panen. Ia adalah simbol gotong-royong, sekaligus tonggak perubahan menuju pertanian sawit yang lebih berkelanjutan.
Yang menarik, koperasi ini bukan koperasi sembarangan. Di tengah banyaknya kelembagan petani yang masih berjuang memenuhi standar keberlanjutan, KPKS Kesepakatan justru telah berhasil mengantongi sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) sejak tahun 2019 — di atas lahan seluas 362 hektare.
Dan yang lebih istimewa, koperasi ini disebut-sebut menjadi satu-satunya koperasi non binaan perusahaan di Sumatera Utara yang berhasil meraih sertifikat bergengsi tersebut.
Perjalanan Panjang Menuju ISPO
“Kalau dihitung, dari 2015 perjalanan kita menuju ISPO itu cukup panjang,” tutur Hendra Butrabutar, pria 40 tahun yang kini menjabat sebagai Badan Pengawas KPKS Kesepakatan, membuka percakapan sore itu dengan nada rendah dan tenang.
Hendra adalah putra asli Dusun III Goting Sidodadi. Ia sudah lama menjadi bagian dari koperasi, bukan hanya sebagai anggota, tetapi juga sebagai sosok yang dipercaya untuk mengawasi dan memastikan koperasi berjalan sesuai aturan. Dari sikapnya yang tenang dan tutur katanya yang sistematis, jelas ia sudah terbiasa dengan urusan administrasi dan audit.
Menurut Hendra, semangat untuk mengurus sertifikasi ISPO berawal dari dorongan mitra kerja mereka. “Dulu kami bermitra dengan PTPN, menjual TBS ke sana. Dari pihak PTPN, sudah ada anjuran karena ISPO itu mandatori dari pemerintah. Nah, sebagai mitra, kita juga diarahkan untuk ikut,” jelasnya.
Namun, perjalanan mereka tidak mulus. Setelah beberapa tahun, kemitraan dengan PTPN berakhir. Para petani KPKS Kesepakatan kemudian menjalin hubungan baru dengan PT Agrindo Indah Persada (AIP) pada tahun 2017. Dari sinilah proses menuju sertifikasi ISPO kembali digalakkan.
“Waktu masih mitra PTPN, kami sudah dilatih, jadi begitu AIP datang dan usulkan ikut ISPO, kita sudah punya bekal. Mereka tinggal lanjutkan pembinaan dan bantu urus kelengkapan dokumen,” tutur Hendra.
Belajar dari Nol: Dari Pemadam hingga Pembukuan
ISPO bukan sekadar sertifikat di atas kertas. Untuk mendapatkannya, para petani harus melewati serangkaian pelatihan dan pembinaan — dari teknis di lapangan hingga manajemen koperasi.
“Banyak yang kami pelajari waktu itu,” kata Hendra. “Mulai dari penyediaan alat pemadam kebakaran, penggunaan pestisida, cara kerja yang aman, sampai soal pembukuan.”
Ia bercerita bahwa meski kebun sawit di Goting Sidodadi tidak rawan kebakaran, pelatihan tentang mitigasi risiko tetap dilakukan. Setiap pekerja diajarkan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), memahami teknik penyemprotan pestisida yang aman, serta menjaga kualitas bibit yang digunakan.
“Bahkan mereka juga memeriksa asal usul bibit sawit kami, sertifikatnya. Dari mana asal usulnya, harus bisa kami tunjukkan,” tambahnya.
Tak hanya di lapangan, pelatihan juga menyentuh aspek manajemen administrasi koperasi.
“Awalnya pembukuan kami sederhana, cuma catatan biasa. Setelah pembinaan, kami jadi tahu cara bikin buku tamu, buku produksi, buku keanggotaan — semua tertata. Sekarang kalau audit datang, tinggal buka, semuanya jelas,” ujar wajah Hendra nampak bangga.
Menjaga Lingkungan di Tengah Sawit Tua
Saat menelusuri lahan, tampak jelas bahwa sebagian besar pohon sawit di kebun KPKS Kesepakatan sudah berumur hampir 40 tahun. Meski sudah tua, kebun itu tetap terawat. Di sela-sela batang yang menjulang, kadang terdengar suara kera melompat dari satu pelepah ke pelepah lain.
“Kalau hewan liar di sini cuma kera sama monyet. Itu pun sering jadi hama juga, karena suka merusak buah sawit yang mau panen,” Hendra tertawa. “Tapi ya tetap kita lindungi, nggak pernah diburu,” dia memastikan.
Lebih jauh Hendra menyebut, kawasan kebun mereka memang tidak memiliki area lindung khusus, namun kesadaran lingkungan tetap dijaga. Tak ada aktivitas penebangan liar atau perburuan satwa. Burung-burung kecil masih beterbangan bebas di antara pohon, menjadi saksi perjalanan panjang petani menuju sawit berkelanjutan.
Sawit Membuka Jalan Kehidupan
Ketika ditanya tentang perubahan hidup sejak berkebun sawit, mata Hendra tampak berbinar. “Kalau diingat dulu sebelum ada sawit, jalan ke kampung ini susah sekali,” katanya. “Kami harus jalan kaki jauh, naik turun jurang hanya untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Sekarang sudah ada jalan bagus. Itu semua karena sawit,” terangnya.
Bagi warga Goting Sidodadi, sawit bukan hanya sumber penghasilan, tapi juga pintu menuju pembangunan desa. Jalan terbuka, akses pendidikan lebih mudah, dan ekonomi perlahan menggeliat. Kini koperasi mereka menjadi tumpuan lebih dari seratus keluarga di sekitarnya.
“Yang penting, kami ingin sawit ini berkelanjutan. Jadi bukan cuma panen, tapi juga menjaga lingkungan, mencatat produksi, dan patuh aturan,” ucap Hendra mantap.
ISPO Sebagai Cermin Kemandirian Petani
Sejak mendapatkan sertifikat ISPO tahun 2019, KPKS Kesepakatan berkomitmen untuk terus melanjutkan standar tersebut meski kebun sudah tua.
“Kita sudah sepakat, ISPO tetap lanjut. Kalau nanti kebun diremajakan, ISPO-nya kita pending dulu. Setelah menghasilkan, baru audit lagi. Jadi tidak putus,” jelas Hendra.
Sertifikat ini, katanya, bukan hanya dokumen formal, tapi bukti bahwa petani kecil pun bisa taat terhadap regulasi nasional dan memiliki kesadaran terhadap praktik berkelanjutan.
“Banyak yang bilang, ISPO itu ribet. Tapi sebenarnya kalau niat dan disiplin, bisa kok,” ujarnya. “Kita ini jauh dari kota, tapi mau ikut aturan negara. Itu kebanggaan kami.”
Menjadi Teladan dari Desa
Kini, di tengah luasnya hamparan sawit tua di Asahan, KPKS Kesepakatan berdiri sebagai contoh nyata bahwa petani kecil bisa mandiri dan profesional. Mereka tak sekadar menanam dan memanen, tapi juga belajar, mencatat, menjaga, dan membangun.
Bagi Hendra dan kawan-kawannya, ISPO bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan baru menuju masa depan sawit yang lestari.
“Kami ingin anak-anak kami nanti bisa bangga. Bahwa di kampung kecil seperti Goting Sidodadi, petani sawit juga bisa menjaga bumi dan patuh pada aturan,” tutupnya sambil memandang hamparan sawit yang mulai meremang diterpa cahaya senja.







Komentar Via Facebook :