https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Cerita Pakai Sendiri, Daya Saing dan Harga TBS Petani Sawit

Cerita Pakai Sendiri, Daya Saing dan Harga TBS Petani Sawit

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat ME Manurung. Foto: Ist


Jakarta, elaeis.co - Masih sangat jelas tergambar dalam benak lelaki 52 tahun ini, pada rentang tahun 2000 hingga 2014, harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit petani, cuma ditentukan oleh hari-hari besar nasional, bukan tender Crude Palm Oil (CPO), apalagi bursa. 

“Jadi kalau sudah mau mendekati dan pasca hari besar, harga TBS petani sawit langsung menggeliding. Turun. Itu berlangsung cukup lama. Petani cuma bisa pasrah,” kenang Gulat Medali Emas Manurung, saat berbincang dengan elaeis.co, tadi siang. 

Tapi giliran serapan dalam negeri kencang, persis setelah kebutuhan pangan meningkat dan Bauran (B30) diberlakukan sejak Januari 2020 lalu, kondisi itu sontak berubah.    

Harga CPO domestik serta B30 yang menjadi bagian dari Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) tadi, langsung menjadi rujukan harga TBS petani sawit. Akibatnya, harga yang dinikmati petani sawit pun berangsur menanjak. 

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat ME Manurung, mempertunjukkan hasil panen nenas di kebun sawit bersama anak-anak sekitar kebun. foto: ist

Yang membikin semakin menarik, gara-gara serapan dalam negeri yang sudah hampir 50 persen dari total produksi minyak sawit nasional itu pula, tak kurang dari 200 negara yang selama ini butuh minyak sawit asal Indonesia, terbelalak.  

Soalnya, gara-gara makin besarnya serapan dalam negeri itu, ‘jatah’ mereka berkurang. Saking kekurangannya mereka, minyak bekas pakai (jelantah) orang Indonesia pun dibeli.  Mereka menjadi semakin rutin mengintil pergerakan serapan domestik begitu mendengar Presiden Prabowo bakal membikin B40 bulan depan. 

Bauran sebesar ini kata Gulat, tidak hanya akan menyerap 14 juta ton CPO dalam negeri, tapi juga memberi three impacts bagi Indonesia; melestarikan lingkungan (energi hijau), menghemat devisa negara dan menyediakan lapangan kerja dari kekayaan.

“Coba, betapa luar biasanya minyak sawit kita. Apa kemudian Indonesia sombong gara-gara itu semua? Enggak! Indonesia malah merendah, mensyukuri betapa Tuhan telah mentakdirkan di tanah yang terbentang dari Aceh sampai Papua, sawit tumbuh subur,” Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) ini mendelik.  

Tapi itu tadilah, kata doktor ilmu agro-lingkungan Universitas Riau ini. Masih ada juga menteri yang menjadi pembantu presiden yang tak pandai bersyukur atas karunia itu. 

Kerjanya malah hanya menciptakan regulasi yang mengesampingkan peran sawit dan bahkan sering berstatemen membangun image negatif tentang sawit. “Miris saya,” katanya. 

Yang juga membikin nelangsa itu menurut Gulat, di saat negara sudah move on dengan produksi dalam negeri, orang-orang yang terlibat dalam pasar minyak sawit Indonesia, malah masih juga belum move on. 

Tengok sajalah tingkah para analis saat membikin prakiraan harga CPO di bursa. Prediksi mereka sering meleset. Bahkan cuma mengulang kalimat yang sama dari tahun ke tahun. 

“Melesetnya analis pasar CPO itu lantaran dua hal; pertama karena by disain, yang tujuannya cuma untuk mempengaruhi pasar. Kedua, lantaran sumber data mereka berbeda. Otomatis informasinya pun akan berbeda,” terangnya. 

Lalu saat menentukan Harga Indeks Pasar (HIP), Direktorat Jenderal EBTKE kata ayah dua anak ini cuma memakai harga PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) sebagai rujukan harga. 

Katakanlah untuk Desember 2024 Direktorat Jenderal EBTKE telah menetapkan harga HIP biodiesel Rp14.389 per liter, ditambah biaya angkut.

Perhitungan ini diperoleh dari harga rata-rata CPO bulan sebelumnya dengan acuan HIP merujuk pada harga CPO KPBN rata-rata +95US$/ton x 870 kg/m3 + ongkos angkut (mobilisasi ke pertamina).

Harga CPO KPBN rata-rata pada periode 25 Oktober 2024 s.d 24 November 2024 ditetapkan mencapai Rp15.199/kg.

“Kan sudah ada Bursa CPO Indonesia ICDX. Akan beda jauh keterwakilan harga itu kalau kita pakai bursa. Mestinya Kementerian ESDM sudah mengevaluasi dasar rujukan itu. Masa belum move on juga sih?” lelaki ini bertanya. 

Lagi pula kata Gulat, tugas KPBN itu sudah selesai pasca berdirinya Palmco yang akan menyerap sendiri semua produk CPO PTPN untuk layanan publik seperti untuk minyakita (penugasan khusus dari pemerintah). “Kok masih hanya itu yang jadi rujukan,” lagi-lagi dia bertanya. 


 

Komentar Via Facebook :