https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Benarkah ISPO dan RSPO Bisa Sejahterakan Petani Sawit?

Benarkah ISPO dan RSPO Bisa Sejahterakan Petani Sawit?

Tri Arianto sedang memamparkan materi ISPO-RSPO di hadapan ratusan petani. Foto: dok. Fortasbi


Pontianak, elaeis.co - 817 petani sawit swadaya di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), antusias menyimak pemaparan mengenai standar ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) dalam pelatihan yang digelar oleh Yayasan Fortasbi.

Para petani tersebut berasal dari Perkumpulan Mitra Harapan (PMH) dan Perkumpulan Swadaya Poliplant (PSP) yang merupakan mitra PT HSL dan PT PSA (Cargill Tropical Palm) yang beroperasi di Ketapang.

Pelatihan dimulai sejak tanggal 10 Februari 2022 dan berakhir Jumat (18/3) kemarin. Selain dua topik tadi, mereka juga mendapatkan materi pelatihan lain yakni Nilai Konservasi Tinggi (NKT), Stok Karbon Tinggi (SKT), Free Prior Informed Consent (FPIC), Pencegahan dan penanggulangan karhutla, PPT (praktek perkebunan terbaik) kelapa sawit, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), alat pelindung diri (APD), dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

“Petani yang sudah terlatih berjumlah 817 orang. Pelatihan diberikan agar petani mengerti proses menuju minyak sawit berkelanjutan,” kata Tri Arianto, salah satu tim Fortasbi yang jadi instruktur pelatihan, kepada elaeis.co, Sabtu (19/3).

Materi yang tersaji betul-betul disimak oleh para petani dengan begitu antusias. Itu terbukti dari respon pertanyaan dari petani. Salah seorang peserta pelatihan merespon materi tentang ISPO dan RSPO. 

Robert Sangsekerta, salah seorang petani dari Koperasi SBJ yang tergabung dalam PSP, mengaku bingung bagaimana ISPO dan RSPO bisa menjamin kesejahteraan petani. Padahal dari segi harga, tidak ada jaminan akan berbeda dengan petani lainnya.

“Bagaimana cara perhitungan atau skema ISPO dan RSPO ini bisa meningkatkan kesejahteraan petani? Kita sama-sama tahu kalau harga sawit tinggi otomatis kesejahteraan petani akan meningkat, sementara ISPO dan RSPO tidak menjamin harga TBS akan berbeda dengan petani yang tidak sertifikasi,” katanya.

Tim Fortasbi pun menjelaskan bahwa bukan berarti dengan menerapkan ISPO dan RSPO serta mendapatkan sertifikasinya maka dalam sekejap dapat mengubah harga melambung tinggi.

“Memang benar pak, harga TBS itu pemerintah yang menentukan, bukan karena kita sudah ISPO dan RSPO lalu harga langsung tinggi,” ujar Tri.

Ia lalu menjelaskan, setelah membuat komitmen ISPO-RSPO, maka akan dibuat kajian dari catatan panen, pestisida, pemupukan, dan catatan perawatan lain. Lalu selanjutnya mengkaji pengeluaran petani apakah seimbang atau tidak dengan pendapatan atau hasil panen.

“Kalau tidak, artinya kita rugi. Itulah pentingnya catatan," jelasnya.

Dia menambahkan, dalam RSPO petani dianjurkan untuk menggunakan bahan organik sehingga mengurangi pembelian bahan kimia baik pupuk atau pestisida. "Petani harus mengedepankan cara-cara manual dan pengendalian hama terpadu yang tujuannya mengurangi biaya perawatan," tukasnya.

Dia menekankan bahwa petani yang sudah ISPO-RSPO dan menjalin MoU dengan perusahaan akan punya  posisi tawar yang lebih baik.

“Kalau harga TBS tidak berubah, kita minta yang lain dari perusahaan. Misalnya permudah akses jankos, abu boiler, atau mungkin perawatan berkala jalan usaha tani. Intinya, kita tingkatkan produksi di lahan yang ada, kita kurangi biaya perawatan, dan kita jaga alam kita," ucapnya

"Kesejahteraan tidak hanya terkait peningkatan ekonomi, tapi dapat dilihat dari sisi sosial dan lingkungan,” tambahnya. 


 

Komentar Via Facebook :