Berita / Dewandaru /
Belajar Dari Kesalahan di Masa Lalu
Para pekerja sedang menurunkan bibit kelapa sawit siap tanam. foto: dok.
Ilmu hikmah...
Apapun kejadiannya, kapanpun terjadinya, dimanapun tempat kejadiannya dan siapapun pelakunya, selalu menghadirkan "ilmu hikmah". Itu proses membekali diri dalam mengarungi kehidupan di masa depan lebih baik lagi. (Luqman Al Hakim).
Saat ini, adanya Indonesia impor gula hingga minimal 4 juta ton/tahun, membuat Indonesia jadi negara pemilik predikat importir terbanyak di dunia.
Padahal tahun 1930-an Nusantara jadi produsen gula terbesar kedua di dunia. Begitu juga dengan sapi, tembakau, teh, kakao dan lainnya. Dulu hebat, kini sebaliknya. Diagonalis negatif.
Baca juga: Menguji Potensi Bisnis
Tahun 1960-an, kelapa diserang kampanye negatif oleh dunia, dianggap sumber penyakit kolesterol, darah tinggi dan tidak ramah lingkungan.
Kita pula larut ikut memusuhi kelapa. Akhirnya kelapa terlantar. Petani sengsara dan negara kehilangan sumber pendapatan pajak dan devisa.
Persis sawit saat ini, hanya karena persaingan dagang pasar minyak nabati di luar negeri Kedelai, Rapa, Bunga Matahari dan yang di dalam negeri ada oknum bisa jadi hanya karena "uang recehan" dari luar negeri. Targetnya sawit mau dilumpuhkan, sama dengan kelapa dan cengkeh di masa lalu.
Apakah kita mau mengulangi kesalahan yang sama kesekian kalinya, agar anak cucu kita gigit jari lagi?
Jaman telah berubah, saat ini minyak kelapa, VC0, cocofiber, cocopeat dan lainnya jadi barang buruan masyarakat dunia, karena manfaatnya nyata.
Tapi kita telah terlanjur menelantarkan kelapa hingga 3,9 juta hektar, 87% usia tua, saatnya peremajaan. Negara lain yang melindungi kelapa jadi penikmat. Misal Philipina, Thailand, Birma, Srilanka.
Sawit Indonesia terluas di dunia hingga 17 jutaan hektar. Telah menyerap tenaga kerja puluhan juta orang, mulai hulu hingga hilirnya. Pajak dan devisa kontributor terdepan dalam jumlahnya. Tahun 2018 devisa tercetak oleh sawit Rp320 triliun per tahun.
Sawit, asli konkret telah jadi salah satu tulang punggung utama perekonomian bangsa Indonesia. Sungguh akan berat sekali mencari pengganti sawit pada komoditas lain dalam partisipasi membangun negeri ini. Minimal Rp600 triliun per tahun begerak produktif karena sawit.
Lalu, bagaimana agar sawit tidak bernasib seperti komoditas lain yang saya sebut di atas. Tentu tidak melakukan "perlakuan" yang sama saperti komoditas di atas.
Harus memperlakukan "cara beda" agar nasibnya beda pula. Harus senantiasa dijaga keberlanjutannya.
Agar sawit berkelanjutan maka harus membangun SDM unggul untuk masa sekarang dan mendatang. SDM unggul mengelola sawit mulai ruas hulu hingga hilir.
SDM unggul itu adalah para peneliti/inovator, para pelaku usaha, para profesional pengelola sawit dan para penikmat hasil sawit.
Contoh kongkritnya, terlahir inovator agar provitas sawit bisa 3x lipatnya saat ini dan lebih ramah lingkungan.
Pelaku usahanya mampu menekan Harga Pokok Produksi (HPP) serendah mungkin. Bila perlu nol limbah. Bahkan kalau bisa cukup jualan limbahnya saja sudah melahirkan laba sehat. Atau kebun sawit akan jadi juga sentra produsen ternak sapi, kambing, domba dan lainnya.
Begitu juga pada ruas hilir. Saya pribadi sungguh turut bangga dengan Prof Subagyo dari Kampus ITB yang telah jadi inovator peran utama agar sawit jadi biodiesel.
Dampaknya luas dan jangka panjang. Harga di petani terdongkrak. Hemat devisa dan terciptanya lapangan kerja makin dahsyat lagi.
Semoga hadir lagi inovator sawit jadi farmasi, kosmetik dan lainnya. Seperti di luar negeri. Agar produk turunan yang diekspor bukan lagi hanya CPO, cangkang dan bungkil sawit.
Agar nilai tambahnya jadi lapangan kerja maupun kesejahteraan. Paralel terlahir pelaku usaha inovatif, agar sawit makin bermanfaat nyata.








Komentar Via Facebook :