Berita / Feature /
Sepenggal Cerita Sopir Truk Sawit Bengkalis
Aswin: Pulang..
Aswin saat menahan balok kayu yang jadi tempat gantungan timbangan manual. foto: herman
Desa Petani Kecamatan Batin Solapan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, menjadi destinasi kami selanjutnya, menyisir lorong waktu demi menemukan sopir truk sawit yang ada di sana.
Ini kami lakukan setelah sebelumnya telah ngobrol panjang dengan Ahmad Misri, seorang sopir truk sawit di Desa Buluh Manis, desa yang baru 13 tahun lalu mekar dari Desa Petani.
Melintas di jalan poros desa saat matahari telah menanjak pada Rabu pekan lalu, sebuah keberuntungan buat kami lantaran ternyata bisa langsung ketemu dengan Aswin Bahar.
Pas pula lelaki 50 tahun ini sedang menindih ujung balok panjang yang menggelantung di ekor truk. Balok panjang itu menjadi penyangga timbangan manual yang menggelantung menahan beban Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang dimasukkan oleh seorang lelaki paruh baya.
“Sudah tujuh ya,” seorang perempuan yang juga paruh baya mengingatkan lelaki berbaju kuning itu. Kalau dibilang tujuh, berarti sudah 700 kilogram TBS nya yang ditimbang.
“Beginilah keseharian saya di sini. Mendatangi tumpukan hasil panen masyarakat untuk ditimbang dan kemudian saya bawa ke Ram,” Aswin mendekati saya. Kulitnya yang legam nampak berkeringat. Baju kaos lusuh yang dia pakai sudah kuyup.
Tak terasa, obrolan kami menjadi serius saat ayah empat anak ini mengajak kami ngobrol di depan rumahnya di kawasan jalan lintas Rangau. Di bilang jalan lintas Rangau lantaran jalan yang juga dipakai oleh perusahaan tambang minyak ini menjadi nadi yang menghubungkan Kota Duri dengan kawasan Rangau.
“Hasil panen petani yang saya kumpulkan enggak hanya di Desa Petani, tapi juga di beberapa tempat, bahkan sampai ke kilometer 28 Rangau. Dari sini sekitar 11-17 kilometer lah,” perantau asal Aek Kanopan Sumatera Utara ini bercerita.
Kalau sudah ke arah Rangau kata Aswin, dia sudah deg-degan soalnya kawasan ini dikenal dengan gambutnya yang tak bersahabat. “Kalau sudah hujan, kadang kami enggak bisa pulang,” ujarnya.
Di momen ini, ada gurat kekhawatiran di wajah lelaki yang sudah 30 tahun menjadi penjajal jalan ini. Sesungguhnya dia bukan takut oleh bahaya di jalan tadi, tapi takut pada satu hal yang masih terus terulang; tidak pulang.
Padahal, dia masih bisa eksis menggeluti profesinya, justru oleh sebuah komitmen bahwa Aswin boleh menjadi sopir asal saban hari pulang. Itu kesepahaman dia dengan sang istri.
“Jujur, orang rumah (istri) melarang saya jadi sopir lantaran takut saya enggak pulang. Tapi kalau saya bisa selalu pulang hari, boleh,” dia mempertegas komitmen yang telah berbilang tahun itu.
Tapi itu tadilah, meski syarat yang telah teriyakan itu terkesan sederhana, tapi faktanya justru berat dan bahkan teramat berat. Sebab kalau cuaca memaksa dia tetap di lapangan, suka nggak suka komitmen itu terlanggar. Dari pada nanti jalan gambut itu membenamkan ban truk itu?
Ritme Kerja dan Gaji
Di RAM Plasma tempat Aswin bekerja, ritme kerjanya unik. Tidak ketat seperti di perusahaan dulu. “Kerja kami santai, pagi jam 10 atau jam 11 baru mulai,” katanya.
Tapi jangan salah, santai bukan berarti sebentar. Selesai bisa jam 8 malam. Bahkan pernah lebih dari limit itu jika sawit yang harus diambil banyak atau jika jalan menuju kebun sulit dilalui.
Rata-rata ia mendapat dua trip sehari—kadang lebih jika armada sedang sepi. Satu trip bisa membawa TBS milik satu petani dengan berat mencapai empat ton.
“Tergantung cuaca dan jatahlah. Saya bekerja sendirian. Tidak ada kernet. Jika buruh muat (SPSI) tidak ada, sopir boleh ikut bantu muat dan mendapat tambahan pemasukan Rp20 per kilogram. Tapi ini tidak wajib,” terangnya.
Saat ditanya soal pendapatan, Aswin menjawab polos,“Gaji bulanan Rp4 juta, uang makan Rp15 ribu. Kadang ada juga petani ngasih uang minum,” Aswin buka-bukaan. “Kalau dihitung-hitung sih enggak cukup. Tapi apapun itu ya saya syukuri,” ucapnya.
Lalu ia menambahkan kalimat yang membuat kami hening sejenak. “Yang penting pulang tiap hari. Itu aja yang penting buat keluarga. Dari pada saya jadi sopir lintas, enggak tahu kapan pulangnya,” lelaki ini tertawa.
Keluarga: Arah Pulang yang Tak Pernah Ia Tinggalkan
Anak Aswin laki-laki semua. Yang tertua baru tamat SMA. Yang kedua SMP. Yang ketiga SD kelas tiga. Yang bungsu belum sekolah. “Bini saya selalu bilang hati-hati di jalan, jaga nama baik, kerja yang bagus-bagus aja,” Aswin menyebut istrinya dengan nada hormat, hal yang jarang terdengar dari mulut seorang sopir.
“Saya bersyukur punya bini yang pandai bersyukur. Itu yang membikin saya kuat,” tambahnya.
Sebetulnya, dibalik gaji tadi, Aswin sudah punya kebun sawit seluas 2 hektar. Dia bisa membeli lahan itu dari hasil keringat dan bantuan orang tua. “Kalau cuma dari hasil nyopir, punya kebun sawit dua hektar itu sudah jago lah. Soalnya sekarang tanah sudah mahal,” dia berterus terang.
Aswin pernah lebih dari enam tahun bekerja di perusahaan, mengangkut getah dari Aek Kanopan ke pabrik di Namorambe. “Kerja di perusahaan memang enak, terjamin. Tapi ketat. Di sini kita santai, tapi gajinya juga santai,” lelaki ini ngakak tertawa.
Aswin memilih dunia sawit bukan lantaran lebih menjanjikan, tapi karena lebih memungkinkan untuk bisa pulang setiap hari. Lagi-lagi; pulang.







Komentar Via Facebook :