https://www.elaeis.co

Berita / Siku Kata /

Ajaran Terpendek

Ajaran Terpendek

ilustrasi. foto: fixabay


Menyeberang sejenak ke ruang-ruang pukau. Bukan di rumah sendiri. Tidak pula dalam ajaran dan kepercayaan [iman] sendiri. 

Sebuah nukilan universal. Ya, tentang sejahtera yang dilayari oleh kejumawaan pendidikan, teknologi, fasilitas sosial, situasi sosial dan meritokrasi, sehingga membuat seseorang hidup dalam keberlimpahan: dikepung oleh kaidah-kaidah seakan serba surgawi. 

Mayoritas orang bukannya mempermasalahkan kehidupan bak neraka. Malah kehidupan yang terlalu surgawi juga adalah sumber masalah. Disebut sebagai penyakit privelese

Mereka menjalani kehidupan jauh melampaui cetak biru dan stempel minor. 

Sumber hidup serba surgawi itu tentu diawali oleh sebuah kerja keras dengan himpunan ilmu[pengetahuan/knowledge] sebagai maujud memori yang bertumpuk beku dan terakumulasi.

Baca juga: Mentari Ahad

Perilaku ‘ingin tahu’ [knowing] itu sendiri adalah sebuah proses dinamis. Artinya; kebijaksanaan yang hidup. Bukan informasi yang mati.

Di awal penciptaan primordial, Adam dan Hawa lebih terpesona pada produk [buah/pengetahuan]. Bukan proses. 

Sejatinya mereka berdua merawat dan memelihara pohon kehidupan. Bukan malah terjebak dalam ringkusan produk akhir [bernama buah/pengehatuan]. 

Mitos penciptaan diawali oleh peristiwa kejatuhan atau keterlemparan. Termasuk penciptaan Adam dan Hawa. Singkat kata: kelahiran pengetahuan berbasis memori adalah awal dari kejatuhan.

Sampai saat ini, uji kelayakan dan kemampuan akademis sehingga seseorang dinyatakan layak menyandang gelar sarjana hingga PhD, adalah hasil dari sejumlah “pemaksaan” untuk mengingat tumpukan memori beku [dalam model ujian dan persidangan memori]. 

Mereka dikatakan berpengetahuan dan pintar, cerdas dan berprestasi ketika mampu mengingat tumpukan memori beku, sebuah proyeksi kecerdasan: dianggap kecerdasan murni. Padahal hanya peristiwa “pemaksaan” proses mengingat secara efisien. 

Pencerahan hidup, tidak dipangku oleh kemampuan memproses memori. Inilah yang dikenal sebagai sophia [kebijaksanaan]. Lelaku menyusun sejumlah cita idealistik dalam tindak, terukur dan berkesadaran. 

Ketika penyeberangan sejenak [passing out] ke ruang-ruang pukau baru itu, kita boleh bersandar pada kaidah lama: “intelek yang disandarkan pada memori hanya mampu memberi informasi. Sebaliknya intelektualitas tak kan mampu melakukan transformasi”. 

Era artificial intelligence [AI] tengah berlangsung. Di era ini, hanya mereka yang mampu melatih kecerdasan di luar memorilah yang keluar selaku pemenang. 

Karena dia mempunyai sesuatu yang sungguh bernilai untuk disumbangkan dalam kehidupan. Manusia berbeda dengan mesin; karena manusia punya persepsi. 

Mesin secerdas apa pun tak kan pernah memiliki persepsi. Dia hanya punya kecepatan mengumpul dan memproses data, analisis, bertindak. 

Inilah fungsi mesin. Dan hanya itu. Sementara manusia, hidup dalam bahasa, menggali intensional bahasa, mengalami bahasa itu sendiri dalam sejumlah alam dan pengalaman yang tak dikenal oleh mesin [intelek]. 

Kecerdasan non-intelek ini dalam terra pengetahuan esoterik Timur disebut sebagai kesadaran; resa, rasa, gairah atau kecerdasan jeluk [mendalam] yang berada di luar memori, di luar intelek, di luar penilaian. Sebuah pikiran akan kesadaran yang hidup dari kosmos. 
Kecerdasan eksistensial. 

Intelektualitas menampangkan ajarannya dalam sejumlah paket, silabus dan kurikula untuk capaian kompetensi peserta didik [business oriented]

Ujung-ujungnya, ya... sekali lagi uji untuk mengingat tumpukan memori yang kaku dan beku. Disudahi dengan convocation [wisuda] tentang keberhasilan cara dan proses mengingat. Itu saja. 

Termasuk ide tentang surga, sebagai ide terburuk dalam sejarah memori manusia. Sebaliknya, esoteris Timur hanya menyandang ajaran bak goresan puisi telapak tangan [haiku]

Figur guru di kuil Zen berusia hampir 90 tahun. Praktik spiritual Zen adalah bekerja di taman [kebun], sekaligus sumber nafkah. 

Saban pagi hingga senja, dia bekerja sebagai satu dari sekian praktik spiritual [semacam riyadhah dalam lelaku kaum sufi]. 

Di ujung usia senja dengan tungkai lengan dan kaki melemah, dia menunai tugas itu tiada jengah. Para murid mulai risau akan kenyataan ini. Tak rela melihat sang guru berpayah-payah, bertungkus lumus dalam kepenatan hari-hari. 

Mereka berkata: “Guru! Sudah lah... ada kami. Dan kamilah yang berkewajiban melakukan segala demi Guru! Sudahlah”. 

Sang Guru tak peduli. Walau fisik melemah, namun intensi kerja tetap brilyan untuk tulang serapuh itu. 

Para murid berkeputusan untuk menyembunyikan segala peralatan kerja sang Guru. Agar si Guru benar-benar bisa rehat dari sejumlah kerja dan praktik spiritual Zen. 

Sejak itu, sang guru disibukkan mencari peralatan; cangkul, parang, skop dan pisau sayat, tali pengikat. Sampai senja, tak ditemukan. 

Kejadian ini berulang hampir lima hari. Selama lima hari itu pula si Guru tidak makan. 

Melihat kenyataan ini, para murid, mulai risau. Berinisiatif mengembalikan peralatan kerja itu pada tempat semula. 

Esok pagi, geriang hati meliput perasaan sang Guru. Dia menemukan kembali peralatan kerja demi praktik spiritual yang ditekuni berpuluh tahun. 

Sejak itu, Guru, sang pertapa tua itu mulai bekerja dan makan kembali. Setelah lima hari tak kerja dan tak makan. 

Pada malam itu juga dia mengumpulkan murid dan menyampaikan ajarannya: “Tak bekerja, tidak ada makanan”. Itu saja yang disampaikannya. Malam membungkus tidur nyenyak sang pertapa tua. 

Keesokan pagi, para murid-muridnya menemukan sang Guru itu telah pergi untuk selamanya [mati]. Tersebab berpuasa berhari-hari, tanpa makanan. Dia meninggalkan ajaran yang paling singkat di muka bumi.


 

Yusmar Yusuf
Komentar Via Facebook :