Berita / Feature /
Agunan Kerja Ala KPKS Kesepakatan
Kepala Wilayah KPKS Kesepakatan, Hendra Simanjuntak foto: herman
Langit di barat Dusun Tiga Desa Gotting Sidodadi Kecamatan Bandar Pasir Mandoge Kabupaten Asahan itu sudah mulai gelap saat kami berada di bawah pohon-pohon sawit yang sudah berumur hampir 40 tahun itu.
Pohon-pohon yang selama ini diurusi oleh Koperasi Petani Kelapa Sawit (KPKS) Kesepakatan, sebuah lembaga petani yang menjadi tumpuan hidup bagi ratusan kepala keluarga di sana.
Tadinya koperasi ini mengelola 362 hektare kebun sawit, namun belakangan luasan itu berkurang menjadi 288 hektar. Semuanya sudah terlambat peremajaan. Sebab idealnya peremajaan sudah harus dilakukan saat tanaman sudah berumur minimal 25 tahun.
Inilah tantangan yang sedang dihadapi koperasi ini. Namun di balik tantangan itu, tersimpan cerita tentang kebersamaan, tanggung jawab, dan cinta terhadap tanah warisan.
Salah satu sosok yang menjadi penggerak di balik jalannya koperasi ini adalah Hendra Simanjuntak, pria berusia 51 tahun yang kini menjabat sebagai Kepala Wilayah (Kepwil) Koperasi Petani Kelapa Sawit Kesepakatan.
Mengatur 362 Hektare dengan Rasa Kekeluargaan
“Kebun seluas ini dibagi jadi lima kelompok,” ujar Hendra sambil menatap hamparan sawit yang membentang di depan mata. “Di setiap kelompok ada dua mandor — satu mandor panen dan satu lagi mandor perawatan. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang saya awasi,” katanya.
Dengan gaya bicaranya yang tenang namun tegas, Hendra menjelaskan bagaimana sistem kerja di lapangan berlangsung. Ia hafal setiap jengkal tanah yang menjadi tanggung jawabnya.
“Untuk pemanenan, tiap kelompok minimal ada tiga ‘pisau’, artinya enam orang — satu supir, satu kernet. Jadi dalam sehari kita sudah tahu siapa yang akan turun, di blok mana, dan hasilnya berapa,” terangnya
Struktur kerja ini tidak sesederhana yang terlihat. Setiap kelompok memiliki tanggung jawab besar terhadap hasil panen dan perawatan kebun. Semua dilakukan secara gotong royong, diatur oleh sistem yang sudah dijalankan turun-temurun.
“Kalau soal perawatan, satu kelompok membabat sekitar 15 hektare per bulan,” jelas Hendra. “Empat bulan harus selesai, bulan kelima sudah mulai rotasi lagi,” tambahnya
Ia menyebut sistem rotasi itu seperti napas bagi kebun mereka — ritme yang memastikan sawit tetap produktif dan terawat, meski usia tanaman sudah renta.
Dua Minggu Panen, Dua Minggu Nunas
Pekerjaan di kebun sawit tak hanya soal mengegrek Tandan Buah Segar (TBS). Ada juga pekerjaan “nunas” — memotong pelepah tua agar pohon tetap sehat dan mudah dipanen.
“Orang yang panen itu juga yang nunas,” kata Hendra. “Biasanya satu minggu tembus ancak panen, lalu satu minggu berikutnya nunas, jadi, kerja terus bergantian, satu minggu manen, satu minggu nunas,” dia merinci
Dengan sistem seperti itu, kebun seluas 362 hektare itu menjadi terawat — tidak ada lahan yang terbengkalai. “Kalau sebulan, dua kali panen harus selesai. Itu target kami,” tambahnya.
Strategi Menjaga Produktivitas
Ketika ditanya bagaimana koperasi menjaga produktivitas kebun selama puluhan tahun, Hendra menjawab sederhana, “Pemupukan harus tepat waktu dan tepat sasaran. Itu kuncinya,”
Ia bercerita, di masa produktifnya dulu, kebun mereka mampu menghasilkan panen yang melimpah. “Waktu sawit masih bagus, pendapatan petani bisa Rp5 juta sampai Rp6 juta per bulan. Bersih, setelah semua biaya dipotong,” kenangnya.
Gaji itu diterima rutin setiap tanggal 2 hingga 5 di kantor koperasi. “Jadi ya, seperti gajian di perusahaan juga. Bedanya, ini dari hasil kebun kita sendiri,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Sebagai Kepwil, Hendra sendiri bukan hanya pengurus. Ia juga petani. “Saya punya satu kapling, warisan dari mertua. Jadi selain gaji dari koperasi, saya juga dapat hasil panen,” katanya.
Mengabdi untuk Tanah Sendiri
Ketika ditanya apakah penghasilannya mencukupi, Hendra hanya tertawa kecil. “Kalau gaji Kepwil ya nggak seberapa. Tapi yang penting bisa mengabdi. Karena yang kita jaga ini bukan punya orang lain, tapi punya kita sendiri,” katanya.
Pria kelahiran Dusun 1 Goting Sidodadi ini sudah 12 tahun menjabat sebagai Kepwil. Ia menyebut masa-masa itu penuh suka duka. Salah satu pengalaman yang paling diingatnya adalah ketika terjadi sengketa lahan di wilayah kerjanya.
“Waktu itu ada yang menyerobot tanah di kelompok lima, sekitar enam kapling,” kenangnya. “Sampai harus ke pengadilan. Tapi Alhamdulillah, kami menang. Saya turun langsung karena mandor nggak berani, sempat diancam juga,”
Pengalaman itu, kata Hendra, menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya tanggung jawab dan keberanian dalam menjaga hak petani.
Agunan Kerja: Sistem Unik Koperasi
Salah satu hal menarik di koperasi ini adalah sistem agunan kerja. Artinya, siapa pun yang ingin bekerja di kebun harus memiliki jaminan lahan, minimal atas nama orang tuanya.
“Kita mau kerja, ya harus punya agunan tanah,” jelas Hendra. “Biar kalau ada penyelewengan, misalnya jual buah diam-diam, bisa dipotong dari situ,” tegasnya.
Sistem ini, menurut Hendra, bukan untuk menekan, tapi untuk menanamkan rasa tanggung jawab. Karena pada dasarnya, semua yang bekerja di sini punya hubungan kekeluargaan. “Minimal orang tuanya pemilik lahan. Jadi nggak ada orang luar yang kerja sembarangan,” ujarnya.
Harapan untuk Pemerintah
Meski koperasi mereka mampu bertahan hingga puluhan tahun, bukan berarti tanpa kendala. Salah satu yang paling berat adalah status lahan yang diklaim berada di kawasan hutan. Gara-gara klaim ini, proses peremajaan menjadi terhambat.
“Harapan kami, pemerintah segera menyelesaikan masalah ini,” pinta Hendra. “Supaya bisa diremajakan, dan generasi berikutnya bisa menikmati hasilnya,” dia berharap.
Suara Hendra agak serak ketika ia mengenang masa lalunya. “Saya dulu putus sekolah karena waktu itu hasil kebun kami diambil pemerintah. Tahun 97-98 itu. Saya cuma sempat sekolah sampai SMP,” suaranya semakin lirih.
Kini, ia tinggal di Dusun 3 bersama istri dan tiga anaknya. Lahan yang dikelolanya merupakan warisan dari mertuanya, yang dulu juga merupakan anggota koperasi pertama. “Ini dari Opung istri saya. Setelah beliau meninggal, lahan dikasih ke mertua, lalu ke saya. Panjang ceritanya,” lelaki ini tertawa.
Gotong Royong yang Menjaga Kehidupan
Meski koperasi ini tidak memiliki sistem seketat perusahaan besar, mereka tetap memegang prinsip kerja yang jelas.
“Kita nggak ada jam kerja yang kaku seperti BUMN,” ujar Hendra. “Tapi target dua rotasi panen per bulan harus tercapai. Kalau buah nggak keluar, ya nggak ada gaji. Jadi semua semangat,” katanya
Bagi Hendra, kebun itu bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi juga simbol persatuan warga. Mereka bekerja saling bantu, saling awasi, dan saling jaga. Dari mandor hingga pekerja lapangan, semua tahu bahwa hasil kerja mereka akan kembali untuk kepentingan bersama.







Komentar Via Facebook :