Berita / Komunitas /
Mengulik 'Bahasa' Feyerabend di Fisip Unri

Prof Yusmar Yusuf bersama para peserta syarahan kedua. foto: ist
Pekanbaru, elaeis.co - Ini kali kedua Syarahan Shadu Perdana itu digelar. Penggelarnya masih sama; Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (FISIP UNRI) bersama Tsabitah Cyndicate dan KedaiReka (Kampus Mandiri).
Pada kali pertama, helat intelektual ini menghadirkan pembicara Muhammad Natsir Tahar seorang writerprenuer dan pembaca filsafat dari Batam.
Lelaki ini mengupas soal Humanisme Vs Demuhanisme dalam Perspektif Happy Ending (Utopia) dalam tema "Paradoks Utopia, Rezim Digitalisme: Obsesi Ilmu dan Kebenaran Singular(itas)".
Kalau Syarahan pertama digelar di Private Norma Coffee di kawasan jalan Muchtar Lufti, kemarin justru di ruang rapat Senat Fisip Unri.
Walau di dalam kampus, diskusi bertajuk "Pandangan Anarkistik dalam Ilmu Pengetahuan: Kritik Feyerabend atas Universalisasi Pandangan Metodologis" itu tak lah pula kaku dan hening.
Sebab di sana, di acara yang dipandu Wira Ananda Manalu itu, ada teatrikal puisi yang dibawakan Fedli Azis dan Siti Salmah, denting dawai gambus oleh Matrock dan liukan tari tubuh Nanda.
Warna-warni semacam inilah yang kemudian membikin bahasan yang bagi orang-orang awam tergolong berat itu, justru semakin menarik.
Apalagi penggagas syarahan itu, Prof. Yusmar Yusuf teramat bisa membikin kupasan Bambang Putra Ermansyah soal cara berpikir Paul Karl Feyerabend terhadap konsep pengetahuan, kian menggelitik.
Bambang yang jebolan Unri Hubungan Internasional Unri itu bilang kalau Feyerabend jengah dengan konsepsi pengetahuan yang terkesan memaksa satu metode baku.
Soalnya pandangan universalitas dalam ilmu pengetahuan justru bisa menghadirkan penghakiman yang tidak adil terhadap pandangan alternatif yang muncul.
"Adakah demarkasi dan rasionalitas dalam filsafat ilmu? Kata Feyeraband, tidak ada. Sebab tidak ada rasionalitas yang bebas konteks," lelaki yang karib disapa Ibam ini menyimpulkan.
Bagi Yusmar, helat yang ditaja sedari siang hingga jelang maghrib itu seolah keluar dari jantung bintang-bintang dalam malam kelam yang beludru.
Makin dalam kemudian bahasa Yusmar yang keluar, katanya begini; Paul Karl Feyerabend sesuai nama yang mengambil frasa malam kelam beludru. Pikiran-pikiran Germania (osterreicht) yang formal dan kaku dingin.
Tapi setelah pembakuan ‘bid'ah’ pemikiran tentang anarkhi ilmu pengetahuan, dia semacam dikucilkan. Sains tak lebih hanya satu dari sekian bentuk pengucapan (bahasa) --- selain agama --- untuk berdepan dengan dunia.
Di tengah malam (abend) beludru itulah, arkian pemikiran-pemikiran Feyerabend meluncur bak "il viendra tout droit, du coeur des étoiles... (dia turun dari jantung bintang-bintang) abad ke 20. Feyerabend menolak kerajaan banalitas sains yang mendaku-daku sebagai raja kebenaran.
Sains itu, bawaannya a-historis bagi peradaban manusia. Dunia ini diselamatkan oleh (juga orang-orang malas); kalau semuanya rajin, maka bumi ini dalam 20 tahun ke depan punah.
Yusmar pun menyebut dalam bahasa Perancis kalau syarahan ini sebagai crème de la crème (yang terbaik di antara yang terbaik).
Fenomenolog dan budayawan Riau ini berharap diskusi semacam itu bisa terus berjalan dan diadakan di seluruh Sumatera demi mengembalikan semangat intelektualitas masyarakat Pulau Sumatera.
"Kita sangat membutuhkan diskusi seperti ini. Apalagi, selama saya kuliah jarang sekali ada diskusi filsafat macam ini,” kata Haldi Ryaldi, salah seorang peserta diskusi.
Dekan Fisip Unri Dr. Meyzi Hariyanto, M.Si sangat mengapresiasi syarahan itu. "Ini akan menjadi icon Fisip Unri dalam khazanah keilmuan," katanya.
Selain Meyzi, ada juga DR. Meliani, DR. Saiman Pakpahan dan dosen lainnya di sana, termasuk DR. Chaidir, seorang akademisi, penulis dan budayawan Riau.
Komentar Via Facebook :