https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Kuli Kasar di Ladang Gambir Bergaji Ratusan Ribu Rupiah per Hari, Petani: Sawit? Sudah Lupa Kami

Kuli Kasar di Ladang Gambir Bergaji Ratusan Ribu Rupiah per Hari, Petani: Sawit? Sudah Lupa Kami

Ladang gambir. Foto: mongabay.co.id


"SAWIT?" ujar Rinai, 41, seorang petani di Nagari Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), dengan nada bertanya.

"Sudah lupa kami," tambahnya. Senin (31/7) siang itu, Rinai bersama satu temannya sesama pekerja saat itu sedang sibuk bekerja di ladang gambir, yang lumayan jauh dari perkampungan.

Rangkaian pekerjaan yang melelahkan. Mulai dari memetik daun gambir di ladang, lalu mengolahnya di rumah produksi, sampai diangkut ke perkampungan untuk dipasarkan, merupakan rangkaian pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik.

Tapi petani --termasuk pekerja tani-- seakan tidak mempedulikan itu. Apalagi sejak harga gambir melonjak lagi belakangan ini, semua kelelahan di ladang seakan terbayar lunas dengan upah tinggi yang diterima.

Dengan harga gambir antara Rp65.000 sampai Rp70.000/kg di tingkat pedagang pengumpul, seorang pekerja kasar di ladang gambir bisa meraup upah antara Rp300.000 sampai Rp400.000/hari.

"Itu sudah bersih," Rinai menyambung, sambil membersihkan keringat yang meleleh di wajahnya. Sebab, menurut Rinai, selama melakukan proses produksi gambir di ladang, biaya untuk pembelian bahan kebutuhan pokok para pekerja ditanggung oleh pemilik ladang.

Rinai cepat-cepat mengangguk ketika ditanya pendapatannya sebagai kuli kasar di ladang gambir yang mencapai hitungan jutaan rupiah setiap pekan. "Ya, segitulah," ujarnya, sumringah. "Rezeki anak-isteri."

Makanya, saat ditanya rencana lama untuk membuka areal perkebunan kelapa sawit di daerah itu, Rinai tidak terlalu antusias menanggapinya. Ia hanya menjawab dengan mengatakan: "Sudah lupa kami."

Rentang waktu sekitar dua bulan belakangan memang seakan "masa emas" bagi para petani gambir, termasuk pekerja kasar yang terlibat di dalam proses produksi, sampai buruh angkut.

Sebab, lonjakan harga gambir memang sangat tinggi. Kalau sebelumnya di bawah Rp20.000/kg, terus naik menjadi Rp40.000, Rp50.000, bahkan terakhir sudah menyentuh angka Rp70.000/kg di tingkat pedagang pengumpul.

Wajar saja, petani merasa masa kejayaan yang sudah lama hilang, seakan sudah kembali lagi. Saat uang terasa susah didapat ketika harga gambir murah, untuk sementara waktu bisa diposisikan sebagai "masa lalu yang kelabu."
                            ***
KOTO Alam hanya satu nagari (setingkat desa) dari puluhan nagari lainnya di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, yang menjadi sentra gambir. Kecamatan lainnya adalah Kapur IX.

Sama dengan sejumlah komoditas perkebunan lainnya, gambir juga pernah --bahkan tergolong sering-- tidak punya nilai jual yang layak di pasaran.

Di saat seperti itu, jangankan untung, hasil dari gambir tidak cukup untuk membersihkan ladang atau untuk mendukung biaya produksi. Bila kondisinya demikian, banyak petani yang memilih membiarkan ladang gambirnya merimba.

Di saat seperti itulah, beberapa tahun lalu, terbersit keinginan dari sejumlah petani dan pemuka masyarakat untuk mengganti komoditas gambir ke sawit. Lebih didorong lagi oleh kesejahteraan tinggi para petani sawit di daerah tetangga, Provinsi Riau.

"Beberapa perusahaan sudah pernah melakukan survei ke daerah ini," ungkap Afrizal, pemuka masyarakat setempat. Bahkan sudah pernah pula perusahaan membangun jalan ke lokasi yang dicadangkan sebagai areal perkebunan sawit.

"Tapi semuanya kandas," imbuhnya. Afrizal menduga, penyebab utamanya karena masyarakat sudah terbiasa dengan gambir, yang sudah diwarisi secara turun-temurun. "Kalau dengan tanaman baru, tentu butuh penyesuaian."

Bupati Limapuluh Kota Safaruddin Dt. Bandaro Rajo kepada elaeis.co beberapa waktu lalu lebih menyorot ke kondisi topografi lahan yang kurang mendukung. "Sulit didapatkan lahan bertopografi datar dengan luasan yang memadai," ungkap Bupati Safar.

Bupati juga tidak menampik soal kebiasaan, di mana sebagian besar petani di daerahnya sudah terbiasa membudidayakan gambir. "Sudah berlangsung entah berapa kali pergantian generasi," sebutnya.

Faktor lain, menurut Bupati Safar mengutip pendapat petani, kelapa sawit sama saja dengan gambir, yaitu harganya gampang berfluktuasi. "Sepertinya petani kami masih nyaman dengan gambir."

Komentar Via Facebook :