https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Beasiswa Sawit; Antara Aroma Proyek, Ego dan Sya la la...

Beasiswa Sawit; Antara Aroma Proyek, Ego dan Sya la la...

Terry Ansanay saat memperhatikan hasil kebun petani sawit Papua yang menumpuk di pinggir jalan. foto: aziz


Jakarta, elaeis.co - "Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah! (Djasmerah)". Begitulah founding father Indonesia, Soekarno, mengingatkan bangsa ini pada 17 Agustus 1966 silam. 

Peringatan ini tak terkecuali pada cikal bakal lahirnya beasiswa sawit yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sejak tahun 2016 silam. 

Bahwa pencetus beasiswa ini adalah seorang petinggi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Amin Nugroho, yang ketemu dengan Rektor Instiper masa itu, Purwadi, di sebuah seminar di Jakarta pada 2013 silam.

Baca juga: Tentang Amin Nugroho dan Beasiswa Sawit Itu

Ngalor-ngidul mereka bicara hingga Amin kemudian bolak-balik ke Yogyakarta untuk mematangkan rencana beasiswa itu. Beasiswa yang duitnya bersumber dari petani untuk menguliahkan 50 orang anak setiap tahun.  

Tapi sebelum rencana itu berjalan, lahirlah BPDPKS. Oleh Dirut BPDPKS saat itu, Bayu Krisnamurti, diberikanlah quota 300 orang untuk beasiswa diploma satu. 

Para penerima beasiswa ini nanti kuliah di Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY) dan Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (CWE).

 

Baca juga: Skenario Usang Beasiswa Sawit

Saat itu, proses rekrutmen dilakukan secara manual. Seleksi dilakukan di daerah-daerah penghasil sawit dan melibatkan Apkasindo. Adapun alasan rekrutmen manual itu dilakukan lantaran anak-anak petani kebanyakan tinggal di pelosok desa. Sinyal telekomunikasi pun susah.     

Lalu, syarat-syarat untuk ikut beasiswa juga tidak ribet. Cukup menampakkan bukti kalau bapaknya pekebun atau buruh di kebun kelapa sawit. 

Anak-anak petani atau buruh sawit ini tak perlu yang juara-juara. Tapi mau ikut beasiswa dan mau pulang kampung untuk mempraktekkan ilmunya, itu sudah cukup. 

Sayang, yang semacam ini rupanya hanya sekali.  Seterusnya, beasiswa ini sudah terkesan menjadi bisnis. Sebab, tidak hanya disuruh ambil alih oleh Asosiasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Sawit Indonesia (Alpensi), strata dan penyelenggara beasiswa ini pun bertambah banyak.

Baca juga: Seleksi Beasiswa Sawit Kembali Picu Masalah. Petani Ancam Demo ke Jakarta 

Celakanya, sejak diproyekkan kepada Alpensi, proses rekrutmen tidak lagi manual, tapi sudah secara online. Alhasil, banyak anak petani yang kelimpungan lantaran harus datang ke ibukota kecamatan atau kabupaten demi mendapatkan sinyal telekomunikasi.

Sudahlah harus seperti itu, boro-boro lulus. Maklum, soal-soal yang disodorkan kepada para bakal calon penerima beasiswa ini adalah soal-soal yang setara dengan ujian beasiswa pada umumnya. 

Sudah tak terhitung berapa kali petani protes soal beasiswa ini. Sayang, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) yang kemudian mengambil alih proyek beasiswa ini bergeming.

 

Tahun ini, memang ada perubahan. Selain quota yang bertambah dari 600 menjadi 1000, Alpensi tidak lagi menjadi penggelar rekrutmen beasiswa sawit. Hanya saja, proyek ini justru diberikan kepada PT. LPP Agro Nusantara Yogyakarta. Sampai sekarang elaeis.co belum mendapat penjelasan kenapa proyek beasiswa ini tidak ditenderkan. 

Semakin mempermudah anak petani sawitkah? Jawabannya kata para petani sawit, malah semakin memperparah. Selain tetap dilakukan secara online, ada yang bilang proses rekrutmen sudah kayak proses rekrutmen manager kebun. 

Alhasil tahun ini, anak-anak dari Pulau Bintuni Provinsi Papua Barat gagal ikut beasiswa lantaran mereka tak bisa mengakses sinyal internet. Itu baru dari Pulau Bintuni, belum lagi dari daerah lain. 

"Di Papua, yang lolos tes awal 19 orang, ternyata yang lulus hanya 3 orang, kami kecewa dengan hasil tes tahun ini," rutuk Ketua Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW-Apkasindo) Papua, Terry Ansanay.

Di Papua, program beasiswa bagi anak-anak petani sawit ini kata lelaki 54 tahun ini sebetulan menjadi salah satu program unggulan. "Kami malah sampaikan itu kepada orang tua mereka saat kami rapat maraton bersama dewan adat Keerom, dalam rangka mendorong percepatan PSR di daerah kami. Tapi kenyataannya malah seperti ini, kami sangat kecewa," katanya.

Uniknya, quota 1000 orang itu sudah didapat dan diumumkan beberapa hari lalu. Yang 1000 orang ini hasil seleksi dari sekitar 3000 orang yang mendaftar. Pertanyaan yang kemudian muncul, betulkan yang 1000 orang ini anak-anak petani? Kalau iya, kenapa protes masih meluap dari sana-sini?   


 

Komentar Via Facebook :